3. Arti Ibu

23 6 0
                                    

"Maka seperti apapun perlakuan Ibu kita, posisinya tetap seorang Ibu. Surga tetap berada di telapak kakinya."
—Rakit—

***

Kini waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Menjadi waktu favorit bagi para pelajar. Setelah seharian di sekolah, akhirnya mereka bisa kembali ke rumahnya masing-masing. Begitupun Kahfi. Ia akan pulang bersama Pak Hidayat. Karena memang, Pak Hidayat belum mengizinkannya pulang sendirian.

"Gimana belajarnya hari ini? Seru?" tanya Pak Hidayat dengan penuh perhatian.

"Alhamdulillah, Pak."

"Alhamdulillah. Ya udah, sekarang kita langsung pulang, yuk!"

Pak Hidayat menuju motornya sembari memakai helm. Tiba-tiba saja, ucapan Kahfi membuat aktivitas itu terhenti.

"Pak, kapan kita ketemu Mamah?" tanya Kahfi.

Pak Hidayat mematung sesaat. Ia menghentikan aktivitasnya yang hendak mengenakan helm. Pak Hidayat menyimpan kembali helm tersebut di jok motor. Lantas, ia berbalik menghadap Kahfi.

"Tumben kamu nanya soal itu." ucap Pak Hidayat sembari tersenyum ramah.

"Apa selama ini Mamah nggak pernah nanyain Kahfi?" tanya Kahfi.

"Fi, nggak disini bahasnya!" ujar Pak Hidayat.

"Nggak, Pak! Kahfi kangen sama Mamah! Kahfi harus ketemu Mamah!" Kahfi kekeh menginginkan bertemu sang Ibu.

"Nak–"

"Pak! Kahfi mohon!"

Pak Hidayat menghampiri Kahfi dan mengacak pelan rambutnya. "Kamu memang siap?" tanya Pak Hidayat dengan nada tak yakin.

Kahfi menunduk dalam. "Aku selalu siap kok, Pak! Demi bisa ngeliat Mamah," jawab Kahfi sembari tersenyum.

"Oke. Tapi, ingat! Cuma sebentar! Dan lagi, bapak cuma bisa anter kamu karena bapak sedang ada urusan yang harus diselesaikan. Nggak papa, kan?"

"Nggak papa, Pak! Makasih ya, Pak!" Kahfi tersenyum kegirangan. Netra hitam nya berbinar dengan apa yang diucapkan oleh Pak Hidayat.

Mereka lantas melanjutkan aktivitas mereka menuju tempat dimana seseorang yang Kahfi panggil dengan sebutan 'Mamah' itu berada. Pak Hidayat memiliki keraguan saat Kahfi menemui ibunya. Tapi, tidak ada yang bisa dia lakukan selain mencoba mengukir setiap senyum di wajah remaja laki-laki itu.

***

Kahfi berjalan menuju sebuah rumah mewah dengan gerbang yang begitu besar. Ya, Kahfi meminta Pak Hidayat mengantarnya hanya sampai di dekat rumah itu. Ia menatap rumah itu sendu.

"Mamah," lirih Kahfi. Ia menunduk dalam, menatap jalanan yang tengah ia pijak. Dan saat mendongak, setetes air mata turun tanpa seizinnya.

Saat hendak memencet bel di dekat gerbang tersebut, seorang Bodyguard sudah terlebih dahulu keluar dari rumah itu. "Kamu! Ngapain kamu disini?" tanya pria berbadan kekar dengan kumis tebal itu.

"Pak, Mamah ada?"

"Mamah? Siapa yang kamu sebut Mamah itu, hah? Bu Tiara? Gila kamu!" Pria bernama Jamil itu memandang Kahfi remeh dan mengatakan kata-kata yang membuat Kahfi tertohok.

RAKITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang