Mengenai

2.5K 563 198
                                    

Pukul satu dini hari.

Semua siswa di asrama tengah tidur, kebanyakan dari mereka merasa lelah. Petak umpet kemarin mungkin terlihat singkat dan mudah. Namun, mengingat ukuran dari sekolah mereka dan lokasi sembunyi yang tidak masuk akal, wajar jika para siswa lelah.

Bernasib sial, Zin yang ingin tidur dengan tenang malah merasa ingin buang air. Cuaca pagi yang dingin membuat perutnya makin terasa sakit. Dengan setengah kesadaran, Zin beranjak dari ranjangnya.

"Duh bangke. apasih ini perut jam segini sakit. Ga elit banget," umpat Zin di tengah-tengah rintihannya.

Pintu kamar mandi terkunci ketika Zin membukanya. "Heh siapa didalem?!"

"Ini Janghyun!!"

Suara jawaban dari kamar mandi itu terasa begitu jauh, hampir tidak terdengar.

Zin mengernyitkan alis. Perutnya sudah sangat sakit, tidak mungkin dia mengetuk pintu kamar orang lain sepagi ini. Tanpa basa-basi, ia keluar dari kamar dan memilih pergi ke toilet umum di lorong seberang. Zin jarang pergi kesana, karena dia merasa tidak begitu membutuhkan toilet itu.

Berjalan sambil mengumpat tidak jelas, Zin akhirnya berhasil mencapai pintu toilet dan menyelesaikan urusannya.

Zin keluar dari kamar mandi dengan perasaan dan perut yang lega.

Dia berjalan santai kembali ke arah lorong kamarnya sendiri. Tidak susah sebenarnya, hanya tinggal lurus saja.

Zin... tersesat.

Lorong itu terasa semakin panjang, dan tak berujung. Zin merasa sesak, karena dia tidak bisa melihat ujung lorong itu dari kedua sisi. Hanya hitam. Zin mencoba melihat pintu kamar-kamar di samping kanan dan kirinya. Dia melihat nomor yang janggal. Semua pintu bernomorkan 666.

Dia pasrah, menyandarkan punggungnya di tembok yang dingin dan beringsut duduk. Zin memeluk kedua kakinya sambil memejamkan mata. Pemuda tinju ini benar-benar sangat takut pada hantu, apapun jenisnya.

Zin menggigit lidahnya sendiri, dan menampar pipinya dengan keras. Berusaha memastikan, apakah ini mimpi atau nyata. Lidah dan pipinya sakit. Artinya, ini nyata.

Ia tetap memejamkan mata di sela tangis, berharap semua ini akan segera usai.

"Heh!
"Ngapain disini?"
"Dih mana nangis lagi, bangun woi!"

Kelopak matanya membuka dengan sangat perlahan.
"Bang Seo?"

Ya, Zin bertemu dengan satu setan berwujud manusia. Namun setidaknya, dia masih manusia. Zin menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa lorong itu kini memiliki ujung. Dan benar, Zin bisa melihat tembok di ujung sana.

Seongeun justru ikut duduk di sebelah Zin.
"Abis kena perangkap lorong ini, ya?"

Dengan wajah yang basah sebab menangis, Zin mengangguk dan mulai meluruskan kakinya, merasa aman. "Kok tahu, bang?"

"Hhh," Seo menghela napas sambil memejamkan mata. "Makannya, kalau di lorong sini tuh jangan ngomong yang kasar-kasar. Pasti tadi ngumpat terus, ya?"

Zin menundukkan kepalanya. Masuk akal juga penjelasan dari kakak kelasnya ini. "Terus apa hubungannya sama dijebak di lorong, bang?"

"Mau denger ceritanya?" Tawar Seongeun.

Zin yang sudah merasa benar-benar aman, mengangguk mantap dan menyiapkan telinga untuk mendengar cerita dari Seo.

Seongeun menatap condong ke atas, seolah sedang mengingat sesuatu.
"Tanah ini tanah bekas pabrik yang kebakaran besar. Banyak orang yang mati terpanggang, mati karena loncat dari lantai yang tinggi, sama mati karena asap api itu sendiri."

"Yang lebih ngagetin, ternyata pemilik pabriknya ini anggota sekte pemuja setan yang butuh tumbal biar usahanya jaya. Karena keluarganya udah habis dijadiin tumbal, akhirnya dia sendiri yang kena getahnya. Dia sakit jiwa. Dia kasih minyak di seluruh penjuru pabrik, dan dibakarlah pabrik waktu itu."

"Lu bisa bayangin sendiri, lah, ya, keadaannya waktu itu separah apa. Berdesakan, panas, bau, sempit, sakit. Wah pokoknya serem. Apalagi di lorong-lorong, banyak banget yang kejepit. Si pemilik pabrik sendiri mati setelah bakar dirinya sendiri sambil lari ke arah minyak, nyebarin api kemana-mana."

"Konon katanya, orang yang nyembah setan itu, kalau mati jiwanya diambil setan. Yang jelas, kalo lu nggak sopan mereka nggak bakal suka. Secara, dunia kita kan berdampingan."

Zin berkeringat dingin.
"Bang, kok bisa tahu, sih? Diceritain Pak Yoojin, ya?"

"Ya gimana lagi?" Seongeun berdiri membelakangi Zin. Dia menoleh.
"Dulu saya kebakar disini," ujarnya sambil berbalik dengan wajah dan tubuh yang hangus. Matanya menggelinding ke arah Zin.

Zin terpaku, tidak bisa melakukan apa-apa.

Tubuh yang gosong itu berjalan dengan sebelah kaki yang sudah tidak berbentuk, menyeret-nyeret. Kedua tangannya aneh, bengkok tidak karuan dengan jemari yang tidak lengkap. Sosok itu berjalan menuju satu pintu, dan diam saja di sana.

Asap tipis tiba-tiba muncul dari sela-sela pintu kamar, bercampur bau lain yang menyesakkan. Seperti bau amis darah dan bau sesuatu yang terpanggang.

Terlalu lemas untuk berteriak, Zin kembali berdiri dan berlari sekuat yang ia bisa. Dia menemukan kamarnya sendiri, kamar nomer 83.
"Kok gua sial banget sih anjing?"

Zin meraih gagang pintu dan membukanya.
Gagal.

Sebuah kepala yang hangus terlihat menggelinding ke arah Zin. Tak tahan, kini ia berteriak-teriak dengan keras. Kepala itu menggelinding semakin dekat, hingga akhirnya dekat dengan kaki Zin.

"PERSETAN SAMA IBLIS, GUA ATHEIS!!!"
Zin menendang kepala itu jauh sekali, dan akhirnya berhasil membuka pintu kamarnya sendiri.

Zin menutup pintu kamar dengan keras. Bahunya naik turun saat mengambil dan membuang napas, dia sangat takut.

Zin memandang ke arah teman-temannya. Jay, Janghyun dan Hyungseok. Mereka terlihat pulas di kasur. Zin yang panik langsung pergi ke arah Hyungseok yang tidur menghadap tembok, menggoyang-goyangkan badannya dengan tujuan membangunkan.

"Hyungseok!"
"Hyungseok, bangun, dong, sat!"
"Bangun, sialan!"

Hyungseok tidak bergerak.

"Plis bangun lah cok! Gua takut ini!"

Badan Hyungseok berbalik. Dia menunjukkan senyumnya yang lebar, dengan bibir yang sobek dari satu sisi telinga ke sisi telinga yang lainnya.

"Kan sudah dibilang, ngomong jangan kasar-kasar."

"AAAAANNJJJIIIINGGGGGG!!!!!!!"

Pada akhirnya, Zin pingsan.

Keesokan paginya, Zin ditemukan tidur di lantai kamarnya sendiri, tepat di samping ranjang Hyungseok. Teman-teman Zin berhasil membangunkannya.

Zin memilih untuk bersembunyi di bawah selimut. Malam yang dia lewati sungguh terasa amat panjang.

"Zin, nggak sarapan?" Tanya Hyun sambil menarik selimut Zin pelan. "Lu kenapa, sih? Masuk angin? Lagian tidur kok glundang-glundung."

"Ini gara-gara elu," ucap Zin dari balik selimut, "kalo elu tadi pagi nggak di kamar mandi, harusnya gua gak usah ke kamar mandi luar!"

"Hah?" Janghyun menaikkan sebelah alisnya. "Ngadi-ngadi, lu. Siapa juga yang ke kamar mandi jam segitu, orang gua tidur. Dah lah jangan ngigo mulu, ayo, sarapan!"

Zin menangis di balik selimutnya.

SMA PTJ (SlowUp)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang