Eps. 20

1.7K 148 12
                                    

Soobin ada di perpustakaan kampusnya, dia sedang menyelesaikan tugas agar bisa langsung pulang ke rumah sakit untuk menjenguk Sunoo setelah ini. Meskipun sering berargumen, Soobin sangatlah menyayangi adik manisnya.

Tatapannya berhenti sebentar di depan monitor, menatap lekat kolom pencari di internet, lalu jemarinya mulai mengetikkan sesuatu yang tiba-tiba saja terlintas dalam benak. Soal penyakit sang adik.

Apakah leukimia bisa di sembuhkan?

Obat untuk leukimia

Berapa persentase keberhasilan pengobatan pasien terdiagnosa leukimia?

Jemarinya berhenti menggulir mouse, manik matanya bergetar dengan pupil mengecil, bukti bahwa hal yang barusan di dapatnya sama sekali tak Soobin sukai.

Maksimal batas waktu hidup penderita leukimia adalah 5 tahun.

Kalimat menjijikan, berani-benarinya hal seperti itu ada di dalam internet! Soobin merutuk dalam hati. Menepis rasa khawatir yang tiba-tiba membuat sesak, mengedepankan optimisitas kepercayaan, bahwa segalanya hanya Tuhan lah yang tahu. Termasuk lamanya waktu hidup seseorang, Soobin tengah mendoktrin diri nya sendiri agar tak terdistraksi diagnosa manusia dalam internet.

Meski akal berkali-kali meyakini bahwa yang barusan dibacanya adalah sebuah fakta konkrit yang tak sembarangan di input, bahwa dia paham para dokter dan ilmuan telah mempertimbangkan segala sesuatunya. Tapi, Soobin tentu tak mau membayangkan hal keji yang membatasi masa hidup sang adik yang akan berakhir dalam 5 tahun. Itu kejam, bahkan untuknya.

Yeonjun menemukan yang di carinya, sejak tadi dia ingin sekali menemui Soobin, bahkan sampai bertanya ke beberapa orang yang di kenalinya sebagai teman-teman Soobin untuk bertanya. Meski sebagian besar dari mereka menyahut tak tahu saat Yeonjun dengan tergesa-gesa bertanya keberadaan pria jangkung pujaannya, tapi untungnya ada di antara mereka yang pada akhirnya menyarankan Yeonjun untuk pergi mencari pemuda itu di perpustakaan. Dan gotcha! Yeonjun tengah menatap pundak lebar warisan sang ibu itu sekarang.

Belum sempat menepuk untuk menyapa, Yeonjun terlebih dulu di kejutkan dengan suara isakan ketika mendekat.

"Soobin?" Panggilnya pelan, berharap yang di dengarnya tak berasal dari pemuda di hadapan. Namun harapan hanya harapan, begitu tubuh itu tersentak akibat panggilan, dan wajah itu menoleh kaku dengan mata dan hidung memerah serta lelehan jejak bening di pipi, membuat hati Yeonjun mencelos.

"Astaga Soobin?"

"Hiks, hyung.." Isakannya mengencang, dan sebelum semakin histeris, Yeonjun dengan cepat merengkuh tubuh itu kedalam pelukan, coba menenangkan.

Sang senior membawa adik tingkatnya ke cafe di dekat kampus, masih saling berdiam, meski kabar baiknya adalah, Soobin telah berhenti menangis. Yeonjun segan untuk bertanya, jadi pria bersurai biru mencolok itu membiarkan pemuda dihadapannya untuk lebih tenang terlebih dulu.

"Minum coklat hangat mu, ku harap bisa membuat mu lebih baik." ucapnya dengan senyuman manis. Soobin menurut, mengangguk dan meraih cangkir yang telah di antarkan waiters beberapa saat lalu.

Setidaknya Yeonjun benar, rasa coklat yang meleleh dalam mulut membuat Soobin merasa lebih baik. Setidaknya, dia memang tidak boleh terpuruk lebih lama, dia harus kuat untuk adiknya, dia harus menjadi semangat untuk yang tersayang. Lagi, pikiran Soobin kini malah melayang jauh kepada Sunoo di rumah sakit.

"Soobin?" Panggil Yeonjun, dan itu adalah panggilan ketiganya, karena sejak tadi yang dipanggil tak menyahut, seakan tengah berada pada dimensi lain. Namun pada akhirnya Soobun terhenyak dari lamunan.

DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang