Eps. 22

1.6K 168 8
                                    

Seokjin sudah kembali ke kamar rawat Sunoo, Namjoon sedang duduk disebelah ranjang sang anak yang pemiliknya telah tertidur lelap. Seokjin bisa melihat Namjoon tersenyum saat mendapatinya kembali, kemudian pria itu bangkit dari kursi dan menghampiri Seokjin di ruang sebelah.

"Kopi mu." Seokjin mengulurkan satu cup di tangan kanan nya, yang diterima dengan baik oleh Namjoon. "Mochacino?" tanya Seokjin memastikan.

Namjoon tertegun sebentar sebelum tersenyum, mempamerkan dua buah cekungan manis di kedua sisi pipinya. "Kamu masih ingat?"

"Aku pengingat yang baik." sahut Seokjin yang juga ikut tersenyum.

Mereka berdua duduk di sofa, untuk sebentar hening dan larut dalam pikiran masing-masing sembari menikmati kopi yang masih panas. Namjoon yang lebih dulu mencuri pandang, diperhatikannya Seokjin yang terlihat melamun sembari tangan terus meremat halus cup kopi, mungkin mencari kehangatan pikir Namjoon. Tanpa pikir panjang, Namjoon meraih sebelah tangan Seokjin, hal itu menyebabkan si empu terkejut, kembali dari lamunannya yang entah apa.

"Dingin ya?" tanya Namjoon, Seokjin bergeming kala pria itu menggenggam erat sebelah tangannya. Mata Seokjin tak lepas dari tautan tangan yang belum pernah terjadi dengan sadar sebelumnya.

"Jinseok?" panggil Namjoon yang membuat si pemilik nama tergugu.

"N-ne?" sahut Seokjin.

"Ada apa? Kamu memikirkan sesuatu?"

"Aku?"

Namjoon mengangguk.

"Aku.. Memikirkan banyak hal." sahut Seokjin seraya menatap lekat manik sang mantan.

"Mau membaginya?" tawar Namjoon.

Hening, Namjoon tahu Seokjin pasti tengah berpikir, menimbang apakah harus mengiyakan atau menolak tawarannya. Namun pada akhirnya hanya senyuman manis yang Namjoon dapatkan sebagai jawaban. Tidak memuskan, namun cukup menghibur.

"Kamu lelah ya?" tanya Namjoon.

Seokjin tak tahu apa yang terjadi pada pria itu, tapi setiap perhatian yang tercurah dari pertanyaan serta tatapan itu membuat Seokjin berdebar, mengharapkan sesuatu.

Seokjin tak tahu harus menjawab apa, jika dibilang tak lelah, Seokjin sangat lelah. Tapi sejujurnya Seokjin tak ingin mengeluh karena ini semua dia lakukan untuk anaknya. Lagi, sang aktor hanya memilih tersenyum.

"Aku harap Sunoo cepat pulih." ucap Seokjin pada akhirnya. Tangannya ikut menggenggam tangan besar Namjoon yang masih membalut jemari nya erat.

"Dia pasti akan pulih. Dia anak yang kuat."

Seokjin mengangguk, penuh harap. Berharap ucapan Namjoon di dengar Tuhan.

"Jinseok?"

"Hum?"

Keduanya saling bertukar pandang, meski canggung, namun Namjoon sekuat tenaga melawan nya, tak ingin menarik tangannya kemana-mana. Dia meletakkan cup kopi miliknya ke atas meja, begitupun dengan milik Seokjin yang di ambilnya dan juga di letakannya ke atas meja, perlahan. Seokjin tentu bingung, hanya saja dia tak mampu mengatakan apapun.

Kini kedua tangan Namjoon digunakan untuk menggenggam erat kedua tangan sang mantan istri. Menyalurkan hangat agar pria itu merasa lebih tenang.

"Apa aku terlalu muluk, jika berharap sesuatu pada mu, Jin?" Namjoon kembali berucap.

Deg!

Mata Seokjin melebar, lidah nya kelu. Ingin bertanya maksud, namun tak mampu. Tubuhnya terasa lemah, terlebih saat Namjoon menatapnya intens penuh rasa. Elusan pada tangannya bahkan terus berlangsung nyaman.

"Apakah aku masih boleh berharap sesuatu padamu, Jin?"

"Ap-apa yang kamu bicarakan, Namjoon? Berharap apa?" Seokjin pura-pura bodoh, dia hanya ingin memastikan.

"Bisakah kita kembali lagi? Bersama?" jujur Namjoon pada akhirnya.

Cukup. Jantung Seokjin rasanya akan meledak. Namun seketika euphoria dalam hati menguap saat Seokjin mengingat informasi yang di dapatkannya dari Jaehwan di cafetaria tadi.

Haruskah Seokjin bertanya?

"Apa kamu melakukan ini karena Sunoo? Karena anak-anak?" tanya Seokjin.

"Itu yang pertama." Namjoon menyahut ringan.

"Ada yang kedua?" alis Seokjin terangkat penasaran.

Namjoon mengangguk, Seokjin masih menanti.

"Yang kedua.. Ku pikir.. Pada akhirnya aku baru menyadari perasaanku padamu. Perasaan yang mungkin sejak dulu ku miliki, hanya saja tak tahu caranya mengungkapkan. Aku memang bodoh, Jinseok. Seharusnya aku tak pernah mengabaikan mu, seharusnya aku tak begitu saja menerima permintaan perceraian mu, dulu. Aku tak mengerti, saat itu aku benar-benar tak mengerti." Namjoon menggeleng samar, menghayati pengakuannya.

Keduanya terdiam, Seokjin masih ingin mendengar lebih.

"Dan apa kamu tahu yang ku alami setela perpisahan kita?" Namjoon menerawang udara, mengingat masa-masa kelam nya. "Aku merasa hampa, kosong. Tapi aku tak pernah tahu alasannya, aku benar-benar tak memahami rasaku sendiri. Selama bertahun aku menyibukkan diri, hingga pada akhirnya aku sadar bahwa ternyata... Aku merindukan mu. Merindukan kalian ada di hari-hariku. Maafkan aku karena telah membuat segala nya sesulit ini." ungkap Namjoon.

Mata Seokjin berkaca, dia tak percaya, pada akhirnya dia mendengar hal seperti ini dari Namjoon. Kalimat yang begitu ingin di dengarnya sejak dulu, sejak bertahun lalu. Permintaan maaf dan pengakuan kesalahan.

"Apa harus melihat anak kita seperti ini dulu, baru kita memikirkan ini? Kita benar-benar egois, Namjoon." air mata Seokjin menitih, menatap sang mantan lekat, penuh sesal. "Maafkan aku, jika saja aku bisa lebih sabar saat itu. Aku benar-benar egois. Hiks."

Namjoon menghapus bulir air mata yang menjejak di pipi Seokjin. Kemudian merengkuh tubuh pria cantik itu dalam pelukan.

"Bisakah kita bersama lagi, Jin?"

Seokjin tak menyahut, dia pun tak tahu. Setelah 10 tahun, ini adalah hal yang perlu di pertimbangankan, banyak hal yang harus di urus dan di luruskan. Terutama soal hubungan Namjoon dan Irene.

Seokjin melepaskan pelukan, kembali menatap mantan suaminya dengan pandangan buram. "Lalu.. Bagaimana dengan Irene?" tanya Seokjin.

"Aku dan Irene tidak pernah ada dalam hubungan seperti yang kalian pikirkan. Kami memang dekat, tapi aku tak pernah menganggapnya seperti apa yang kalian bayangkan." jelas Namjoon.

"Tapi ku yakin Irene tak begitu, bukan? Ku yakin wanita itu menaruh rasa penuh terhadap mu. Kamu tidak bisa seperti ini, Namjoon."

"Apa kamu tidak mau kembali padaku?" tanyanya lirih.

Seokjin terdiam, netra mereka masih saling memuja dalam diam.

Sangat ingin, Seokjin sangat ingin. Hanya saja...

"Kita akan membicarakan ini saat Sunoo sudah keluar dari rumah sakit, hm? Kita tidak bisa membahasnya dengan terburu-buru." ucap Seokjin.

"Tapi tolong, beri aku kepastian, Jin. Agar aku tahu, haruskan aku terus maju, atau cukup sampai disini. Setidaknya, aku tak ingin membuatmu merasa tak nyaman dengan kehadiran ku."

Seokjin memeluk Namjoon, "aku akan senang jika kamu mau terus berjuang untuk kami. Tetaplah bersama kami." ucapnya di telinga Namjoon. Pelukannya di sudahi, masih menatap intens pria bersurai gelap dihadapannya, "tapi yang pertama harus kamu lakukan adalah, bagaimana kamu menjelaskan semuanya pada Irene tanpa menyakitinya, Namjoon. Aku yakin itu bukan hal mudah." lanjut Seokjin sungguh-sungguh.

Yah, Namjoon tentu tahu. Dia bahkan telah mendapatkan ancaman sebelum benar-benar berani mengatakan ini. Faktor kuat lainnya yang membuat Namjoon membulatkan tekad untuk jujur pada Seokjin soal perasaan nya itu juga justru sebab Irene yang telah mengibarkan bendera perang padanya. Dia harus menjaga Seokjin, menjaga anak-anaknya. Namjoon tak bisa lengah, Irene pasti akan melakukan hal yang tidak diinginkan pada mereka.

Terlebih Namjoon bersikeras untuk tetap bersama Seokjin saat berdebat dengan Irene tadi. Sungguh semua kalimat wanita itu membuat Namjoon khawatir.

DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang