Bab 4 : Embusan Kabar

5.6K 482 8
                                    

Dirga mengangguk sopan ketika melewati Suyitno. Bapak kosnya itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Sebagai satu-satunya tanaman yang seharusnya berbuah, pohon itu hanya pantas disebut penghalau panas. Tidak ada fungsi lain selain daun keringnya menjadi sampah di musim kemarau dan meresahkan ketika musim ulat tiba.

"Berangkat ke kantor dulu, Pak," pamit Dirga.

Suyitno tak acuh. Saat pintu pagar berderit, barulah dia menyadari keberadaan Dirga. Suyitno memicing, mengingat-ingat sesuatu.

"Tunggu sebentar," suara serak Suyitno melambung sembari beranjak dari tempat duduknya. "Aku ada perlu." Dia berjalan pelan seraya memegangi pinggangnya. Tak lupa mencangking peralatan mengepelnya.

"Ada perlu apa, Pak?"

"Tunggu... sebentar," ulang Suyitno.

Setelah jarak menyempit, Suyitno mengulum senyum yang menarik kulit di sekitar bibir dan matanya. Cekungan kelopak matanya serasi dengan batok kepalanya yang kecil, beruban, dengan gigi utuh dan keriput di sana-sini. Jelas usia Suyitno tidak lebih muda dari Eti, istrinya. Bedanya, dia tidak pernah menyombongkan diri. Hanya saja kelakuannya cukup absurd. Suyitno senang bicara sendiri. Dirga pernah menjumpainya mengobrol dengan bayangan mirip makhluk tak berwujud. Wewe.

Selain hampir setiap pagi berdiam diri di bawah pohon mangga, Dirga juga hapal kebiasaan Suyitno lainnya. Bapak kosnya itu akan menyapu seluruh rumah, menata pot tanaman yang digeser untuk kesekian kalinya, lalu mengepelnya. Kalau boleh jujur, tidak perlu melakukan semua itu. Karena selain warna terasonya sudah kusam, dia juga mewajibkan penghuni kos membersihkan sepatu lebih dulu di keset sebelum masuk rumah.

"Semalam aku dengar ada yang mandi. Siapa, ya?"

"Oh, yang mandi Mario, Pak."

"Ada apa mandi malam-malam?"

"Bau."

Suyitno terpingkal mendengar jawaban Dirga, sedangkan lawan bicaranya kebingungan bersikap, ikut tertawa atau diam saja. Dirg tidak tahu bagian mana dari kalimatnya yang lucu. Mungkinkah, bau?

Tiba-tiba Suyitno berhenti tertawa. Wajahnya kembali datar. "Ternyata cuma bau, ya?"

"Iya, Pak"

"Satu lagi, semisal ada yang janggal dengan rumahku ini, kamu boleh tanya. Aku pasti jawab. Jangan nanti malah tanya ke orang lain atau tetangga-tetangga."

"Ba-baik, Pak." Alis tebal Dirga bertaut. Memangnya mau tanya apa? "Kalau begitu, saya permisi dulu. Takut telat ngantor."

"Iya, hati-hati. Selamat bekerja."

"Terima kasih."

Dirga memperlihatkan ketergesaannya ketika menggeser pintu pagar dan menutupnya kembali. Dia sempat memandang ke arah Suyitno yang masih membeku, lalu memindai pohon mangga. Sesuatu yang tidak asing membetot perhatiannya. Sesuatu itu sedang menguping dari celah daun yang rindang.

"Nak Dirga...." Sebelum benar-benar pergi, Suyitno berhasil menghentikan langkahnya kembali. "Kira-kira, apa ada yang kalian sembunyikan dariku?" Dia segera merevisi kalimatnya, "Benar nggak ada yang kamu sembunyikan?"

"Nggak ada, Pak."

Dirga berjalan cepat meninggalkan rumah kos. Mengobrol dengan Suyitno membuatnya tergagap. Cowok itu merasa ada sesuatu yang salah di tiap penggalan kalimatnya, sedari dulu sampai sekarang. Kalau ada yang pertanyaan: Apa ada yang kamu sembunyikan? Seharusnya pertanyaan itu ditujukan kepadanya, bukan sebaliknya.

Dari balik punggung, Dirga masih merasakan picingan bapak kosnya tidak lekas pergi. Pria tua itu terus mengawasinya sedari menutup pintu pagar sampai berjalan menjauh dari gang yang menghubungkan jalanan utama dengan rumah kos yang tampak berdiri sendirian itu.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang