Bab 45 : Di Tepian Neraka

1.7K 226 24
                                    

Beberapa saat sebelumnya.

Ketika Ade meminta izin ke kamar kecil sebelum pulang, Dirga dan Mario tengah menunggunya di halaman depan bersama pemilik kos. Seolah dikejar waktu, Ade mengeluarkan bungkusan kain dari dalam saku. Terasi dan arang. Setelah itu, dia memeriksa sekitar untuk menemukan barang yang dibutuhkannya. Sendok dan piring, serta lidi. Dia melangkah untuk mengambil benda-benda itu dari tempat cucian dengan mata berbinar.

Kemudian, Ade meraih geretan dari dalam saku.

Di antara baduk sumur dan tempat mencuci piring, Ade meletakkan satu arang di atas piring. Dia lalu berjongkok dan menaruh piring di tempat aman supaya tidak mudah terjangkau. Tahap selanjutnya, Ade menusuk terasi menggunakan lidi, lalu membakar dan meletakkannya di piring. Terakhir, dia memejam seraya membaca rapalan.

Sira manjinga marang kulit ingsun.

Kuat sumurup marang kulit ingsun.

Sira manjinga marang balung ingsun.

Kuat sumurup marang balung ingsun.

Sira manjinga marang sungsum ingsun.

Kuat sumurup marang sungsum ingsun.

Hiya ingsun, selirane pancer papat.

Syamhohirin... Syamhohirin... Syamhohirin....

Selesai komat-kamit, dia pukul pelan piring menggunakan sendok sebanyak tiga kali.

Ade bangkit dan yakin segel rumah kos tusuk sate sudah terbuka lebar. Dia melangkah tanpa beban, lalu pamit. Sebelum berlalu, dia sempat berbohong akan kembali secepatnya.

Di tengah perjalanan pulang, Ade bertemu Ganda dan Ibnu yang baru pulang kerja. Mereka mengobrol sebentar sebelum beralasan harus balik secepatnya.

Akan tetapi, alam sepertinya tidak berkehendak. Ade tersadar dengan kebodohannya sendiri. Mau tidak mau harus kembali ke rumah kos itu.

Mendung bergelayut ketika Ade sampai mal dan akan mengambil sepeda motor. Saat merogoh saku, dompetnya tidak ada. Jika tidak menganggap penting STNK dan SIM yang bisa menyeretnya ke dalam masalah setelah mengirimkan Banaspati malam nanti, mungkin dia akan melanjutkan perjalanan pulang tanpa surat-surat itu.

Alhasil, Ade kembali ke rumah kos tusuk sate. Sebentar lagi hujan turun. Udara dingin sudah seperti di dalam kulkas.

***

Kamar Zainal.

Kamar penuh hawa tak enak. Suasananya temaram. Mario, Ganda, dan Ibnu yang ikut bergabung merasakannya juga.

Mereka gusar usai mendapat kabar Zainal pingsan. Keempatnya berkumpul di kamar temannya yang terasa penuh untuk mengurangi suara-suara yang tidak perlu, supaya hanya berputar di antara mereka. Dirga duduk di kasur, melemparkan pandangan ke ketiga temannya yang sedang menempelkan punggungnya di tembok kamar. Sepertinya mereka sedang berpikir antara ingin melarikan diri atau gila sama-sama.

"Menurutmu, ini semua masih wajar atau termasuk bahaya?" Ganda bertanya, "Bukannya tadi Pak Ade ke sini? Apa katanya? Kita semua disuruh hati-hati? Terus, jangan kelolosan? Apa maksudnya?"

Dirga menggeleng lambat. Dia lalu memandangi Zainal yang tergeletak di kasur dengan mata terpejam.

"Bukannya dia nggak apa-apa waktu Pak Ade datang ke sini tadi?" Mario bertanya dengan suara bergetar. Kerjapan matanya cepat. Dia bahkan tidak sempat meminum teh hangatnya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang