Bab 42 : Hari Baru Tiba

1.8K 208 9
                                    

Gadingasri. Tahun 2005.

Entah sedang berbaik hati, Wojogeni menampakkan wujudnya. Seperti mendapat berkah, Suyitno tidak melewatkan kesempatan itu untuk bertanya. Apakah kota tujuan mereka aman? Tentu saja tidak ada jawaban menyertainya.

Di hari ketiga mereka luntang-lantung, akhirnya Wojogeni buka suara, "Di sini saja."

Wajah keduanya semringah.

Tanpa banyak cakap, mereka menuruti permintaan Wojogeni meski dalam hati ada ganjalan. Kenapa memilih Gadingasri sebagai tempat tinggal mereka yang baru? Apalagi ketika melihat satu rumah cukup besar, bertingkat dengan penampakan lawas di bagian luar dan terletak di ujung jalan.

Di satu kota diapit beberapa gunung ini―Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Kawi dan Panderman, serta Gunung Kelud―akhirnya menjadi pilihan mereka menetap setelah mengunjungi dua kota lain dan berakhir tanpa hasil. Kecuali Wojogeni, Suyitno dan Eti sebenarnya menyimpan banyak pertanyaan. Namun, yang penting sekarang adalah mereka bisa segera menutup lembaran kehidupan yang telah lalu. Istilahnya, tutup buku.

Di tempat baru, mereka berniat tidak terlalu akrab dengan warga sekitar karena tidak ada gunanya. Buktinya, mereka tetap menjadi yang pertama tertuduh saat ada masalah. Oleh karena itu, ketika beberapa pasang mata menatap saat berselisih jalan, balasan Suyitno dan Eti hanya anggukkan wajar.

"Rumah tusuk sate katanya tidak baik untuk ditinggali?" tanya Suyitno mengawali protesnya.

"Kau bodoh atau bagaimana?" jawab Wojogeni.

"Maksudmu apa? Setahuku, rumah tusuk sate mudah dikunjungi oleh...." Suyitno memotong kalimatnya sendiri. "Lupakan saja, kau pasti tahu alasannya."

"Setan? Seharusnya kau bersyukur aku memilihkan tempat ini untuk kalian. Setan-setan itu bisa kalian jadikan tameng untuk menutupi jejakku. Tidak akan ada yang sadar kalau aku tinggal di sini. Atau, apa kau ingin melihat Banaspati lagi?" tantang Wojogeni. "Kalau iya, kita cari tempat lain."

"Kita akan tinggal di sini."

Mereka melangkah mendekati rumah incaran.

Tiba-tiba, seorang wanita masuk ke rumah incaran mereka dengan membawa barang belanjaan. Di belakangnya, bocah laki-laki sedang menutup pintu. Sebelumnya, keduanya melewati Suyitno dan Eti dengan mengangguk kecil.

"Rumahnya masih ditempati orang. Kita tidak mungkin mengusir mereka," gumam Suyitno saat berhenti melangkah.

"Aku akan membereskannya," ucap Wojogeni dengan suara dalam.

"Sementara itu kami tinggal di mana?" tanya Suyitno.

"Terserah kalian mau tinggal di mana. Kalian bisa tinggal di bawah jembatan atau di kuburan," jawab Wojogeni.

Ingin rasanya Suyitno merajuk. Namun saat Eti mendengar perkataan Wojogeni darinya dan berusaha membesarkan hati suaminya, dengan ikhlas mereka mengeluarkan uang hasil dari menjual aset untuk menyewa tempat tinggal sementara.

Tidak lebih dari dua minggu, Wojogeni memenuhi janjinya. Sebuah papan pemberitahuan "Rumah Dijual" tertancap di depan pagar rumah. Sekarang, tinggal harga rumahnya sesuai atau tidak. Suyitno tidak ingin sampai berkorban terlalu jauh untuk pindah rumah, lalu jatuh miskin.

Mereka memutuskan bertamu dan berniat mengetahui harga rumah. Keduanya disambut baik oleh sang pemilik rumah. Harganya masuk akal. Surat-surat lengkap. Aman.

Selepas urusan surat-menyurat dan pembayaran beres, Suyitno dan Eti langsung menempati rumah yang cerita-cerita seramnya mulai merebak, dikorek dan dibumbui oleh warga sekitar.

Cerita mengenai bebauan anyir, santer. Tangis menyayat di malam hari menjadi gosip hangat. Atau, penampakan yang membuat pemiliknya ketakutan membuat gempar. Dukun atau Kiai sepertinya tak sanggup mengusir penghuni tak kasat matanya. Cerita-cerita seram itu membuat bulu kuduk warga sekitar meremang. Tak lupa, mereka memperingatkan Suyitno dan Eti supaya berhati-hati.

Ada wajah iba ketika mereka mencoba memperingatkan suami-istri yang sudah tidak muda lagi itu. Namun di sisi lain, Suyitno dan Eti mengerti bahwa hidup mereka tidak dapat dipisahkan dengan Wojogeni. Mereka akan tetap tinggal.

Untuk menggerus bermacam prasangka cerita yang melahar ke mana-mana, mereka mulai membiasakan diri bercengkerama. Sebaliknya, tetangga mereka masih memperingatkan bahwa rumah itu tidak setenang seperti yang mereka ceritakan. Saat-saat mengantar masakan, walaupun hanya sepiring singkong, Eti mencoba berbasa-basi mengenai pertemuannya secara tak sengaja dengan pununggu rumah, dengan menambahkan sedikit senyuman, tanda bahwa dia tidak terganggu.

Bukannya tenang, kekhawatiran justru bertambah. Akhirnya, mereka memilih untuk tidak peduli.

Sejak memutuskan menyambung hidup di tempat baru, Suyitno mulai memutar otak dengan menyediakan kos-kosan menggunakan sisa tabungan dan hidup dari dana pensiun, walaupun tidak menguntungkan pada awalnya. Sebab, hanya ada satu-dua orang yang tinggal, hingga bangunan mal di seberang jalan buka. Mendadak, kos Suyitno penuh dan cerita-cerita horor mengenai rumahnya tergerus omongan lain, mengenai standar tarif kos.

Sedikit demi sedikit, Suyitno mengubah penampakan rumahnya dengan menambahkan tanaman hijau. Penerangan di malam hari mulai dimaksimalkannya untuk mengurangi kecurigaan walaupun bangunan utama tidak diubahnya, kecuali cat tembok dipulas ulang. Lama-lama, Suyitno menyukai suasana uzur rumahnya.

Akhirnya, dia mengerti kenapa Wojogeni memilih tempat itu. Rezeki mengalir lancar.

Hari berganti. Tahun berjalan.

Mereka menikmati tinggal di rumah tusuk sate, walaupun beberapa kali harus berurusan dengan RT/ RW dan pihak berwajib karena kedapatan anak kos yang meninggal dunia. Terakhir, terjadi kasus bunuh diri di kamar pojok di lantai dua.

Kemudian, di satu siang yang panas, rumah bertingkat yang tampak lengang itu mendadak ribut. Wojogeni menghambur keluar. Tak lama, pocong mengikutinya pergi dari rumah.

Diliputi rasa penasaran, Suyitno dan Eti bergegas menuju halaman depan dengan tertatih. Mereka berdiam diri di balik pagar dan menunggu.

Seorang pemuda melangkah mendekat sambil tersenyum. Setelah bertanya mengenai kamar kosong, didorongnya pintu pagar dan pemuda itu melangkah masuk, memperkenalkan diri bernama Dirga.

Angin berbisik seolah menyuruh keduanya mengiakan permintaan Dirga yang ingin indekos di rumahnya, mengingat kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan oleh benaknya sendiri saat menjabat tangan Dirga yang terlalu hangat.

Sejenak, berpikir, Suyitno meyakinkan diri memberinya kamar kosong.

Paling tidak, aku nggak perlu cari calon tumbal lagi seumpama Wojogeni muncul dan menginginkannya, Suyitno membatin saat mengantar Dirga melihat-lihat calon kamar kosnya.

Seolah mampu membaca pikiran Suyitno, dahinya berkerut ketika melirik calon bapak kosnya sedang menatap lekat dirinya, di depan kamar kos yang nanti akan ditempatinya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang