Sembari menenteng peralatan mengepel, Suyitno kembali ke dalam rumah. Gerakannya sedikit tertatih. Tak dimungkiri, usia lanjut jelas menggerogoti kelincahannya yang dulu dibanggakannya ketika masih berkecimpung di dunia militer.
Suyitno tiba di samping sumur tua. Sebelum membasuh tangan di pancuran, dia letakkan peralatan mengepelnya di sisi pojok dapur. Karena rumah dan sumur lawas, jika ingin mengisi pancuran wajib menggunakan kerekan. Begitu malam tiba dan talinya tertiup angin, benda itu akan berderit dan memancing bulu kuduk berdiri.
Setelah bersih, Suyitno masuk ke rumah induk melalui pintu dapur. Atap yang dipandanginya ketika berjalan adalah lantai tempat kos. Dia lalu tiba di ruang makan. Diperhatikannya Eti yang duduk sambil mendongak.
"Ada apa?" tanya Suyitno usai jarak terlipat.
Belum sampai mendengar jawaban sang istri, Suyitno menepuk pelan bahunya. Terkesiap dari lamunan, Eti tersenyum dan mempersilakan suaminya duduk.
"Waktu kamu di depan tadi, ada yang masuk ke rumah." Eti menunjuk tangga induk. "Apa kamu nggak lihat?"
"Perempuan yang mulutnya menganga kemarin itu datang lagi? Menyusahkan sekali. Dia nggak mau jawab pertanyaanku." Suyitno meraih punggung tangan Eti, kemudian mengelusnya lembut. "Kita butuh yang bisa diajak komunikasi, bukan cuma berkunjung."
"Sepertinya bukan perempuan kemarin itu. Kali ini bocah laki-laki. Aku hafal suara tawa dan larinya."
"Kamu sekarang bisa lihat mereka juga?"
"Cuma bisa merasa. Tuh―" Eti memandangi langit-langit rumah mereka.
Duk... duk... duk....
"Dia di atas?" Suyitno ikut menengadah. Anggukan Eti seperti suntikan semangat baginya. "Semoga yang ini benar-benar bisa bantu."
Tangan Suyitno terarah membelai rambut istrinya yang telah memutih. Kulit tangan mereka serasi, kusut. Keriput di sana-sini tidak juga melunturkan kecantikan Eti di mata Suyitno. Tatapan Eti selalu mampu menenangkannya.
"Aku usahakan buat tanya-tanya lagi kalau dia muncul. Kalau ini gagal, aku punya cara lain," tukas Suyitno.
"Cara lain apa?"
"Aku harus memastikannya dulu." Suyitno mengangguk-angguk sendiri. "Semoga bocah ini bisa membantu kita."
"Bocah?"
"Ya, bocah ini. Eh... bocah itu." Suyitno mengarahkan pandangannya ke tangga induk. Eti tidak mau ambil pusing. Dia lega mendengar harapan suaminya muncul kembali.
Suyitno yang sejak tadi mengelus rambut istrinya, mendadak menghentikan kegiatannya. Dia seperti teringat sesuatu, kemudian beringsut ke kamar di samping ruang tamu dengan langkah tergesa. Penyakit encoknya tiba-tiba lenyap.
15 menit berselang, Suyitno keluar dari kamar membawa beberapa perlengkapan. Dia menyisip, bersiap meniti tangga induk. "Aku pastikan dulu bocah ini bisa bantu kita atau nggak. Kamu tunggu di sini saja," pamitnya.
Bola mata Eti mengekori pergerakan suaminya setelah menyengguk. Segera Suyitno menjejak anak tangga yang jumlahnya tidak seberapa itu. Ruang tivi penghuni kos jadi tujuannya.
Tepat ketika Suyitno menyisir ruang tivi, seseorang membuka pintu kamar dan memberi salam padanya.
"Selamat pagi."
Wajah Ibnu menyembul dari balik pintu. Nyawanya belum genap. Karena tidak ada tanggapan, dia bergegas menuruni anak tangga samping. Seandainya tidak bertemu dengan bapak kos, Ibnu berniat menonton tivi sebentar. Kebiasaannya saban hari sehabis bangun tidur karena tidak ingin ketinggalan acara gosip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...