Bab 38 : Berupaya Menahan Diri

1.7K 228 6
                                    

Rumah Ade terbilang luas, tetapi suram. Seumpama berada di Jalan Ijen, besar kemungkinan akan ada di jajaran bangunan dilindungi pemerintah kota atau biasa disebut cagar budaya. Seperti itulah bentuk rumahnya, kaku dan presisi.

Sesuai arahan dan petunjuk Ade, siang hari saat kantor libur, Dirga memutuskan pergi ke sana. Lebih karena ingin mengikis rasa penasaran.

Tidak berapa lama, dia sudah sampai di depan rumah Ade dengan menggunakan angkot sebagai alat transportasi.

Dengan perasaan waswas, Dirga memasuki pekarangan rumah. Melalui jalan berkerikil diapit rumput hias dan tanaman hijau, dia melangkah ragu. Rasa-rasanya, dia mendekati hal yang tidak dianjurkan oleh Mbah Putri lakukan. Yakni, memercayai orang yang baru dikenal. Akan tetapi, semua keraguan itu musnah ketika Dirga terpaku sejenak, memandangi pohon ketapang rimbun yang menjorok di halaman depan rumah Ade. Riuh yang ditimbulkan oleh penghuni tak kasat mata menarik perhatiannya.

Cukup lama Dirga berdiri dan mendengar keriuhan penghuni tak kasat matanya, sampai sang pemilik rumah membukakan pintu dan memanggil namanya.

"Akhirnya mampir juga," sapa Ade ramah. "Mari masuk, kebetulan saya baru bikin kopi."

Dirga membalas dengan mengangguk kecil. Namun sebelum bergerak, dia pandangi pohon ketapang sekali lagi dari tempatnya berdiri, berharap Ade mampu mengartikan maksudnya tanpa perlu bertanya.

Seperti pemandangan sebelumnya, ada yang bergelantungan di dahan, ranting, dan batang pohon. Mereka meraung. Bahkan ada yang seperti ingin melepas kepala Dirga dengan gerakan-gerakan penjagal.

Mengetahuinya, Ade sedikit kebingungan menentukan sikap. Dia pikir, makhluk-makhluk itu hanya akan bereaksi ketika melihat pencuri atau perampok datang melintas.

Pertanyaan besar seperti menemukan celah dalam benak Ade. Sebenarnya, Dirga ini siapa, selain tangkapan auranya yang sedikit membingungkan ketika berpendar. Berselang-seling antara gelap dan terang. Biru dan hijau.

"Pak Dirga paham, kan, apa yang saya bicarakan waktu itu?" tanya Ade saat menggiring Dirga masuk ke rumah. "Memang nggak seberisik seperti sekarang."

Tidak perlu penjelasan lebih lanjut, Dirga membalas dengan menyengguk. Setelah duduk tenang di ruang tamu, Dirga berkata kepada Ade, "Saya penasaran dan pengin ketemu dengan yang Bapak jelaskan di kantin tempo hari."

"Sewaktu lihat pohon ketapang di halaman rumah saya, mereka bilang apa?"

Tampak keanehan pada diri Dirga ketika mendengar pertanyaan Ade. "Pak Ade nggak mungkin nggak paham bahasa mereka?"

"Apa katanya?"

Dirga mendesah. "Mereka bilang supaya saya 'hati-hati', waktu saya iseng bertanya mengenai makhluk yang sampai saat ini saya belum tahu namanya."

"Hati-hati, ya."

Satu demi satu teka-teki mulai menemukan jawaban. Untuk itu, dia harus mencari cara supaya Ade tidak terlalu curiga. Sebab, sebaik apa pun Ade, Dirga merasa ada sesuatu yang ditutup-tutupinya.

Sebisa mungkin Dirga akan menutup rapat segala informasi mengenai dirinya dan juga niatannya di kota ini.

Namun anehnya, semakin Dirga tertutup, semakin Ade ingin menguak misteri yang melingkupi. Selayaknya sebuah tantangan, dia mencoba untuk memenanginya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang