Gadingasri. Tahun 2021.
Dentuman di atas genting membuat Dirga terjaga. Padahal, dia baru terpejam. Ingatannya menajam, mengelana, kemudian terpusat pada cerita seram Mbah Putri yang tinggal di satu dusun, diapit rumpun bambu dan kebun jambu air, di Kota Angin, Jawa Timur.
Cerita mengenai masa kecil Mbah Putri yang membuatnya ragu berpihak mulai menghantui. Jika ternyata Wojogeni benar, berarti apa yang dipercayainya selama ini adalah kesia-siaan.
Mbah Putri menipunya.
- - -
Werungotok. Tahun 2004.
Mbah Putri yang merawat Dirga sedari kecil. Kedua orangtuanya mengalami kecelakaan lalu lintas. Sebuah truk bermuatan kayu gelondongan keluar jalur. Nahas, truk tersebut tergelincir di bahu jalan untuk menghindari becak yang sedang melintas. Seketika truk bermuatan berat menggilas keduanya hidup-hidup, sepulang dari sawah, sore hari saat musim panen tiba.
Bisik-bisik merebak. Keduanya sengaja ditumbalkan Mbah Putri. Nyawa ditukar menjadi lumbung padi dan ber-hektare sawah. Sebab setelah kejadian itu, dia menjadi orang terkaya di desa. Kekayaannya meningkat pesat.
Kemudian, cerita Mbah Putri menyelinap di antara kegiatan duduk di beranda di samping rumah, di satu kursi panjang yang bisa diisi enam orang dewasa.
Mbah Putri bercerita mengenai kisahnya bersama Sami-sepupunya yang cantik dengan bola mata belok, bulu mata lentik dan rambutnya yang berkilau. Bahkan saat Sami berdiam diri, orang-orang akan terpaku dengan kecantikannya yang tak luntur itu. Sementara Mbah Putri, perempuan mungil dengan hidung kecil, bibir kecil dan tungkai kecil, selayaknya itik buruk rupa berdampingan dengan angsa rupawan ketika mereka bersama.
Kami sering duduk di delta bengawan, kata Mbah Putri memulai ceritanya. Dia selalu menyisipinya dengan kegiatan nginang. Menggigit sekapur sirih bersama buah pinang, di pojok bibirnya.
Mbah Putri tahu, dalam darah Dirga mengalir bakat seperti dirinya. Cucunya itu mampu melihat yang tak kasatmata. Anugerah sekaligus kutukan. Mbah Putri belum tahu nasib cucunya itu ke depannya, tetapi baginya, mampu melihat yang tak kasatmata adalah kutukan.
"Dia anak yang manis. Sejak kecil, Sami tidak pernah menangis kencang. Menangis pun hanya dalam hitungan detik. Kata bapakku, anaknya penurut." Pandangan Mbah Putri menerawang jauh. "Tapi kalau sampai Sami menangis, bapakku selalu bisa menenangkannya. Sami juga tertawa ketika kakek buyutmu nembang. Atau, membuatkannya anyaman dari pelepah daun pisang."
Dirga tersenyum kala Mbah Putri melanjutkan ceritanya dengan sluku bathok, sementara kedua tangannya terampil menggelung rambutnya yang panjang dan mudah lepas.
"Sedikit yang Mbah tidak sukai dari Sami. Dia jadi pusat perhatian." Mbah Putri menggeleng-geleng. "Namanya anak kecil, pasti tidak suka jika bapaknya lebih sayang orang lain, meski sepupunya sendiri. Tapi Sami tidak pernah marah waktu Mbah bentak dia. Mbah cemburu. Sami cuma tertawa sambil menyerahkan mainannya untuk Mbah dan bilang seperti ini: Iki gawe kowe (ini buat kamu), terus Mbah langsung luluh."
"Kok aku baru dengar cerita ini, Mbah Dirah?"
Mbah Putri memandang lurus melalui pintu samping. Benaknya berkabut, menuntunnya ke masa lampau. Dia teringat dengan kejadian yang menimpa Sami. Kejadian di pinggir bengawan dengan air tenangnya, dan tak pernah surut meski kemarau melanda.
Saat itu, bias jingga di ufuk barat membuat tengkuk Ngadirah meremang. Dia mendapati sekelebat bayangan asing di rumpun bambu ketika mendengar suara bapaknya yang berteriak di ujung sungai, menyuruh mereka pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Terror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...