Bab 31 : Berharap Duel Tak Kasat Mata

2K 249 35
                                    

Jetis Lor. Tahun 1967. Menjelang Surup.

Tidak pernah ada yang curiga bahwa di desa yang mereka diami, tinggal lah dukun santet tanpa perasaan.

Untuk menutupi tindakannya, Wiwit membaur bersama masyarakat. Dia selalu mengikuti kerja bakti, menjadi pengurus musala, dan berperilaku wajar. Dia juga terkenal bisa menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan mantri atau dokter, walaupun tidak semuanya berhasil. Seolah memiliki alat kendali ampuh, Wiwit berujar untuk mengembalikan segalanya kepada Allah dengan cara berdoa dan berusaha, maka orang-orang akan mudah mengikhlaskan kehilangan.

Barangkali, itu pula yang terjadi dengan Mbok Masiah. Janda dari Pakde Sujud itu masih menjadi tetangga paling dekat, baik rumah maupun kekeluargaannya. Sesekali dia masih menjamu Wiwit dan Ade di rumahnya. Padahal, suaminya meregang nyawa ditangan tetangganya sendiri. Bagaimana jika Mbok Masiah tahu yang mencabut paksa nyawa suaminya adalah tetangga yang dianggapnya baik itu? Mungkinkah Mbok Masiah masih bisa ikhlas?

Wiwit enggan memikirkannya. Hampir setiap malam dipergunakannya untuk mengasah rapalan, mulai dari teluh sampai pelet.

Berperan sebagai saksi hidup, Ade tidak pernah bertanya kegiatan paman angkatnya itu. Setahu dia, pamannya sedang berlatih ilmu baru. Untuk apa ilmu itu digunakan, Ade jarang menaruh curiga. Sebab sejak awal, dia hanya kebagian tugas mencarikan ayam hitam di hutan, kembang setaman, getah damar, atau sesaji. Sisanya, dia hanya menebak-nebak siapa yang menjadi korban ilmu pamannya selanjutnya.

"De," panggil Wiwit ketika Ade sedang ongkang-ongkang kaki sesudah mandi sore.

"Iya, Lik. Ada apa?"

"Apa kau mau mendengar cerita?"

Binar di mata Ade terang ketika mengangguk. Dia menggeser posisi duduknya mendekat dan berharap mendapatkan cerita menarik dari orang yang sangat dikaguminya itu. Karena jika tanpa andil Wiwit, niscaya dia buta huruf. Wiwit yang mendorongnya sekolah. Katanya, biar tidak mudah ditipu orang.

Pemandangan sore hari di Jetis Lor begitu memanjakan mata. Semburat oranye bertabrakan dengan daun pohon jati. Ada sekali waktu Wiwit ingin menyerah dan hidup tenang bersama alam. Namun jika memilih hal itu, maka dengan sadar dia menyetorkan nyawanya kepada Wojogeni. Kata leluhurnya, dedemit itu pantang menelan ludahnya sendiri jika ingin menghabisi nyawa orang. Dan, tidak ada penangkalnya.

"Pernah dengar nama Wojogeni?" lanjut Wiwit.

"Nama orang, Lik?" tanya Ade penasaran.

"Bukan. Dia itu lelembut dari masa lampau."

Alis Ade menyatu. Kebingungan mengambil alih. Baru kali ini dia mendengar nama sekuat itu diucapkan. Wojogeni, si besi api. Rasa penasarannya membumbung tinggi.

"Bagaimana bentuknya, Lik Wit?"

Dari pengamatan Ade, Lik-nya itu seperti sedang mencari padanan yang pas untuk menerangkan rupa Wojogeni. Sekian detik berjalan, Wiwit menyesal membuka percakapan ini. Namun, ada hal penting yang tidak boleh orang lain tahu selain yang dipercayainya. Apalagi, dia butuh Ade untuk melanjutkan perebutan Wojogeni jika gagal.

"Apa kau pernah merasa ketakutan, penasaran, dan kagum jadi satu?" Wiwit memulai membuka misterinya.

Entah sudah berapa kali Ade menggeleng.

"Kulitnya bersisik, mengilap. Bola matanya bersinar seperti kelereng ditempa sinar matahari, besar dan hidup berwarna merah darah. Meskipun bentuk tangan dan kakinya tidak sempurna, Wojogeni terlihat menakutkan sekaligus membuatmu ingin mendekat. Auranya memikat. Kegelapan yang ingin kita pegang, tapi sukar diraih."

"Saya ingin melihatnya langsung."

Wiwit tertawa. "Kau bisa terkencing-kencing seperti sahabatku―" dia memotong sendiri kalimatnya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang