Werungotok. Tahun 2005.
Kehidupan Suyitno dan Eti berjalan normal setelah kecurigaan yang dipupuk menguar hari demi hari, mengenai bayangan di depan rumah yang selalu mengikuti. Bertahun-tahun, kejadian itu timbul tenggelam, hingga akhirnya mereka merasakan lagi ketenangan tinggal di Kota Angin, setelah menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan. Suyitno menjadi anggota militer dan petani bawang merah di sela-sela kesibukannya menjelang pensiun dini, sementara Eti menjadi ibu rumah tangga dan membantu di ladang.
Selain itu, mereka memaksa diri membaur dengan warga lokal. Tidak terdengar pertengkaran di antara mereka, apalagi dengan tetangga. Adem ayem.
"Rahasianya apa, Bu Eti? Saya iri kalau lihat bapak dan ibu mesra terus. Soalnya suami saya jarang sekali senyum kalau nggak ada maunya," kata Yuni sebal. Salah satu buruh tani ketika menyaksikan sendiri bagaimana kedua juragannya itu saling memandang ketika berselisih jalan. Padahal Suyitno sedang sibuk memindahkan bawang merah basah ke tempat jemuran.
"Apa tho, Yun?" Eti terkekeh. "Sebenarnya nggak ada rahasia. Cuma...." Wajahnya bersemu merah sambil menggeleng-geleng kecil.
"Cuma apa?" telisik Yuni seraya mendekatkan telinga. Barangkali majikan perempuannya malu kalau sampai rahasianya didengar orang lain.
"Itu lho, Yun. Minak jinggo...."
Yuni kembali menegakkan posisi duduknya, sebelum melanjutkan kalimat Eti yang terpenggal, "Miring enak..."
"Njengking monggo," Eti meneruskan.
Keduanya tergelak dengan pembahasan dewasa yang tidak mungkin diumbar sembarangan. Dari jauh, Suyitno hanya bisa menebak apa yang sedang diguyonkan oleh istrinya dan buruh tani mereka.
Kehangatan seperti itulah yang awalnya mereka ragu bisa lakukan. Nyatanya, tidak jadi kendala dan berjalan alami. Intinya, mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Terlalu tertutup, sampai akhirnya jika ada hal ganjil, maka mereka yang dicurigai menjadi biang keroknya.
Jikalau dikulik lebih dalam, tentu ada perubahan dalam kehidupan mereka. Keduanya semakin kompak menutupi kedok masing-masing.
Rasa-rasanya sejak Wojogeni hadir, Suyitno merasa makhluk itu menyatu bersama raganya. Dekat aliran nadi. Dia merasa besar dan kuat, dan dedemit itu selalu membantunya bertahan menjalani hari demi hari. Suyitno juga merasa dunia ada dalam genggaman, pun senada ancaman bagi musuh-musuhnya yang tak tampak. Tak dimungkiri, peran Wojogeni bagai obat penenang baginya saat teringat banyak nyawa terputus dari raga oleh tangannya.
Suatu kali merenung, Suyitno bertanya dalam hati.
Apa sekarang kau bahagia?
Benaknya belum bisa menentukan.
Namun, Suyitno bisa memastikan Wojogeni adalah paket lengkap dalam hidupnya. Sejak bertemu di Hutan Gunung Wilis, dia tidak perlu bersusah payah memboyongnya. Wojogeni ikut ke mana pun dia pergi setelah kematian Wiwit. Hidupnya tenang, sebelum diguncang kemunculan Banaspati di atap rumahnya. Dia ingat sensasi yang ditimbulkan. Kosong sejenak, sebelum sesuatu merayap dari dalam dirinya.
"Aku tidak mengira malam ini kejadian lagi," gumam Suyitno begitu terbangun dengan peluh tercetak di dahi.
"Ada apa?" tanya Eti sama-sama terkejut mendengar letupan di atap rumah mereka.
"Banaspati."
"Ada lagi?" ketakutan Eti menjangkiti kembali suasana temaram rumah mereka. Pandangannya berkeling dan berakhir pada suaminya yang beranjak dari tempat tidur.
"Kamu di sini saja," perintah Suyitno.
"Tapi...."
"Percayalah. Mas nggak akan mati semudah itu. Akan aku beri pelajaran pengirimnya."
Eti mengangguk ragu. Ketakutan hinggap di benaknya.
Tanpa pernah Suyitno atau Eti sadari, Wojogeni tersenyum di sudut gelap rumahnya. Seringnya dia mengintip lewat celah tembok dan almari.
Layaknya embusan angin, Suyitno merasakan kedatangan Wojogeni. Ketenangan merambat. Dia yakin, malam ini akan selamat seperti yang sudah-sudah.
"Dia dukun ilmu hitam, sama sepertimu," Wojogeni berbisik.
Suyitno mengangguk. Dia ingin dukun ilmu hitam itu masuk rumah sakit karena muntah darah atau membusuk perlahan.
Benar saja, segalanya berjalan mudah dengan adanya Wojogeni. Saat ini pun, Suyitno hanya merasakan sedikit efek dari serangan dukun ilmu hitam itu. Tidak seperti sewaktu melawan Wiwit, dia hanya perlu berbaring di tempat tidur selama seharian penuh. Sebab, kakinya tidak dapat digerakkan, seperti menyatu.
Begitu sehat, Suyitno baru melancarkan aksinya.
Dugaannya tidak meleset. Kesehatan dukun ilmu hitam itu terus memburuk setelah perutnya terbuka dan menguarkan bebauan tak sedap, termasuk darah segar yang tak henti merembes. Pihak rumah sakit sudah angkat tangan.
Suyitno ingat menyerang dukun ilmu hitam itu melalui mimpi. Dia bertemu Wojogeni yang berdiri di ambang pintu rumah yang terbuka, dan tampak asing baginya. Rumah sang dukun. Melalui mimpi itu, Wojogeni memberitahunya untuk membalas dendam.
Bergerak secara terukur, Suyitno menuju ruang pemujaan sang dukun. Dia meraih buah pinang dan membelahnya sama rata. Lalu, seiris pinang dimasukkannya ke perut boneka yang sengaja dirobeknya. Kaki boneka itu masih terjahit di kedua sisi.
Kemudian, Suyitno membaca rapalan seraya melangkah menuju kamar sang dukun. Tangan kanannya membawa pisau.
Di atas ranjang terbuat dari bambu dan bilah dialasi tikar pandan, sang dukun sedang memejam. Dengkur halusnya terdengar. Sang dukun tengah tertidur di dalam mimpinya.
Suyitno bersimpuh dan meletakkan bonekanya di lantai, di bawah kaki sang dukun. Diperhatikannya kembali boneka itu dalam hening. Kedua tangannya lalu menguncup di dada dengan mata pisau di bawah, tepat di atas perut boneka.
"Tusuk sekarang juga," Wojogeni bersabda.
Beralih dari tangan menguncup menjadi menggenggam, mata pisau meluncur cepat, tepat mengenai perut boneka. Seperti gerakan mencungkil, perut boneka terkoyak. Irisan pinang mengeluarkan getah sebelum terlontar jauh.
Spontan, sang dukun berteriak dan terbangun dari mimpi tidurnya. Di dalam mimpi itu, sebelum Suyitno menghilang serupa asap, pandangan mereka sempat bertemu.
"Asu," sang dukun mengumpat ketika benar-benar terbangun. Peluh membanjur. Perutnya membesar serupa balon dan meletup, terkoyak.
Suyitno juga terbangun dari mimpi di rumahnya sendiri dengan hati tenang. Terbukti, ritual serta pemberitahuan dari dalam mimpi mengukuhkan Wojogeni sebagai sekutunya. Untuk kesekian kalinya, Suyitno merasa jadi sang pemenang.
Adakah penyesalan bagimu jika suatu saat menemaniku di Neraka?
Tidak.
Perebutan Wojogeni seolah menyempurnakan martabatnya, meski ada harga mahal yang harus dibayar. Upah tumbal ketika Wojogeni meminta adalah hal yang harus dipikirkannya masak-masak.
Permintaan Wojogeni mengenai darah segar memang jarang terjadi. Sosok itu meminta sekadar mengisi persediaan makan seperti ular yang hanya memakan satu ekor tikus dan menyimpan tenaganya untuk beberapa waktu. Wojogeni sanggup menyimpan tenaganya bertahun-tahun setelah korban pertama jatuh. Pernah suatu ketika, Wojogeni meminta tumbal satu manusia untuk jangka waktu lama.
Tidak terlalu banyak yang Suyitno korbankan. Hal pertama yang dilakukan setelah mengetahui permintaan Wojogeni berupa tumbal, dia harus memutar otak, bagaimana caranya tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Otomatis, pria itu harus mencari cara untuk menyanggupi permintaannya.
Akan tetapi, kehidupan sepertinya tidak selalu berpihak. Sehati-hatinya dalam bertindak, tetap tidak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang ke depannya.
Mendadak, Wojogeni meminta dua tumbal sekaligus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...