Cerita kepala dan badan terpisah, dan gosong di toilet lantai dasar mal, berlanjut. Ditemani berita gosip di tivi, Zainal melanjutkan kisah Ade dini hari tadi dengan wajah tertekan. Sampai-sampai, dia meminta izin untuk tidak ikut pameran hari pertama.
Selepas koar-koar di grup WhatsApp, sore harinya tiga penghuni kos berkumpul di ruang tamu lantai dua. Dirga dan Ibnu absen. Keduanya beralasan masih ada pekerjaan di kantor.
"Hantu gosong itu ternyata arwah penasaran?" buru Ganda yang pernah mendengar cerita serupa dari Erna.
"Menurut Pak Ade, dulu sebelum bangunan mal dan bangunan-bangunan lain ada, tempat itu jadi ladang pembantaian pribumi oleh penjajah. Banyak sekali arwah gentayangan."
"Tapi badan sama kepalanya kok bisa pisah?"
"Sebelum dibakar, ada yang dipenggal kepalanya."
Ganda meneguk ludahnya. "Kejam banget. Apa semua orang yang sudah mati akan seperti itu?" Dia meralat perkataannya, "Maksudku, bukannya seseorang yang sudah mati akan terbebas dari rasa sakit?"
"Hanya yang masih punya urusan di dunia yang menuntut keadilan. Mereka akan gentayangan."
"Seharusnya mereka sudah tenang. Paling nggak, penjajah-penjajah itu nggak mungkin masih hidup sampai detik ini," mendadak wajah Ganda murung.
"Iya, ya. Tapi kata Pak Ade, mereka kayak nggak mau mati dengan cara seperti itu. Sampai-sampai orangnya nggak tega mau ngu―"
"Ini artis bukannya yang kemarin dilabrak terus direkam sama temannya itu? Niat banget pengin viral," potong Mario santai.
"―sir mereka," tandas Zainal. Keduanya menoleh dan memicing, mengira Mario ikut mendengarkan, ternyata asyik sendiri menonton tivi.
"Dari dulu dia suka bikin ulah," Mario melanjutkan. Tak sadar kedua temannta ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Cantik ya aslinya," timpal Zainal. Ganda bergantian memelototi keduanya sekarang. Tidak habis pikir Zainal ikut terdistraksi.
"Memang ya, dunia makin tua. Banyak yang nggak tahu malu dan bangga aibnya tersebar se-Indonesia. Mereka apa nggak mikir kalau sampai orang rumah tahu? Apa nggak ditanya waktu ada acara keluarga? Nggak mungkin seliar itu, kan? Kalau sampai kejadian di aku, sudah pasti diusir dan dicoret dari kartu keluarga," gerutu Mario sok bijak.
"Menurutku, kamu nggak bakal laku jadi artis," sindir Ganda geram.
"E, kok bisa?" Mario membalas tidak terima.
"Ya, palingan sama juga kayak yang di tivi itu, jual sensasi biar dikenal orang tapi nihil prestasi." Ganda berdecak sebal.
Zainal tergelak. Tangannya terangkat, beradu tos dengan Ganda.
Alis tebal Mario bertaut. Dia mendorong jidat Zainal dan Ganda, bergantian. "Brengsek!"
Bukannya marah, tawa keduanya melahar.
"Tapi aku suka ending-nya pas di restoran. Seru waktu si anak ninggalin yang didamprat sambil tetep ngomel dan masih terekam. Tapi di tivi kok disensor?" Mario mencoba menetralkan suasana setelah Zainal dan Ganda menipiskan tawanya.
"Namanya juga tivi nasional. Nayangin video ada omongan pelacur, sudah pasti kena sensor KPI. Kasih surat peringatan, lama-lama bungkus acaranya. Apalagi kalau sampai jadi polemik," urai Ganda.
"Mirip kerjaan HRD, ya?"
Tak... tak... tak....
Bunyi tangga kayu terinjak cepat.
Ganda meletakkan telunjuknya di bibir. Dia sikut lengan Mario ketika Ibnu melangkah gontai dengan wajah memelas melewati mereka tanpa bicara apalagi menyapa. Kemudian, Ibnu memutar kunci kamarnya dan bersiap masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Terror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...