Jetis Lor. Tahun1966 Akhir.
Wiwit tinggal di rumah kontrakan kecil di salah satu desa di ujung barat Jawa Timur. Pemandangan asri dengan terusan pegunungan sebagai latar, mengingatkannya akan malam nahas di Hutan Gunung Wilis. Untuk pertama kalinya, dia bertemu makhluk adiwarna, diceritakan turun temurun oleh leluhurnya.
Beruntung masyarakat Jetis Lor yang guyup, air sungai melimpah dan berpetak-petak sawah selayaknya permadani hijau, menjadi penghiburan baginya. Hal itu sedikit membungkus rasa takut akan malam berdarah itu. Sebab, menunjukkan kelemahan adalah hal yang paling dihindarinya.
Wiwit tidak sendirian tinggal di Jetis Lor. Dia bersama Ade Mahfud, salah satu anak dari Padepokan Segara Ireng, tempatnya menempa ilmu kanuragan. Usianya memang baru tujuh tahun, tetapi dia paham padepokannya menimba ilmu bukanlah tempat biasa. Tempat itu dekat dengan hal-hal klenik yang dipelajari turun temurun.
Jika sedang mengamati gerak-gerik Ade di halaman depan, Wiwit merasa anak itu mirip Suyitno. Mereka sama-sama punya rasa penasaran, dan berbakat. Jauh di lubuk hatinya, Wiwit menyesal mengajari Suyitno banyak hal, tetapi tidak dengan Ade. Entah kenapa, dia merasa ada kesetiaan dalam dirinya.
"Lik Wit, wonten ingkang madosi (ada yang cari)," kata Ade, membuyarkan lamunannya. Dia mengetuk pintu yang separuh terbuka untuk sekadar bersopan santun.
"Siapa, De?"
"Kulo (saya). Masiah," balas tamu itu, mewakili Ade.
"Mbok Masiah, tho. Ngapunten, wonten menopo, nggih (maaf, ada apa, ya)?"
Wiwit segera mempersilakan Mbok Masiah masuk dan duduk di ruang tamu sambil melihat halaman rumah kontrakannya yang asri.
Pelan, tangis pilu Mbok Masiah terdengar ketika pantatnya menempel di kursi. Dia jadikan ujung lengan kebaya kutu barunya sebagai lap air mata. Gelungan rambutnya sedikit longgar dengan anak-anak rambut tak tersisir rapi. Karena sungkan, Ade menutup pintu rumah dan melanjutkan bermain kelereng di halaman depan.
Rumah kontrakan Wiwit memang tidak gedongan, tetapi cukup layak ditinggali. Tiap ruangan di dalam rumah hanya dibatasi kelambu, termasuk kamar tidurnya dan Ade yang bersebelahan. Dapur kecil dan kamar mandi berada di luar, dibatasi pagar bambu.
Di ruang tamu kecil yang hanya diisi dua kursi serta satu meja sederhana, besutan hidung Mbok Masiah menjadi penanda bahwa ada yang harus Wiwit lakukan. Sesuatu yang mendesak.
"Nak Wit sibuk atau tidak hari ini?" tanya Mbok Masiah setelah lebih tenang.
"Kebetulan hari minggu libur, Mbok."
"Bisa ke rumah saya sebentar?"
"Insyaallah...."
Mbok Masiah mengangguk. Dia merasa lega setelah beranjak dari kursi ruang tamu, sementara Wiwit mengekor. Senyum tipis mengiringi tangannya yang menutup pintu rumah.
"De, jaga rumah. Lik mau ke rumah Mbok Masiah sebentar," pamit Wiwit.
"Inggih (iya), Lik."
***
Rumah Mbok Masiah terpaut cukup jauh dari tempat tinggal Wiwit. Untuk sampai ke sana, mereka harus memutari lahan kosong. Awal pindah dulu, tidak ada yang berani lewat. Hawanya tidak enak. Angker. Selain suara tangisan menyayat, terkadang aroma kembang melati mendirikan bulu kuduk. Bahkan, orang-orang menganggap Wiwit gila karena berani tinggal di tempat itu, tanpa tetangga dekat.
Beruntung Wiwit anggota militer, jadi rumor itu akhirnya menguap. Mereka mungkin takut dibedil. Selain itu, dia dikenal bisa mengobati penyakit tak kasat mata mulai dari teluh, santet, dan sebagainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Korku[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...