Sejak Suyitno mengobrol soal tumbal dengan Zainal, ada sedikit perubahan dalam dirinya ketika mengambil sikap. Di luar Zainal tampak tenang, tetapi hatinya bergemuruh dan tak juga menemukan jalan keluar. Akhir-akhir ini dia sampai menghindari percakapan, lebih karena tidak ingin menambah beban.
Hal itu sebenarnya juga dirasakan oleh teman satu kosnya.
Semisal, ruang tivi yang biasanya semarak seperti ditinggal penghuninya. Setiap kali selesai memasak, anak-anak kos membubarkan diri dan masuk kamar masing-masing. Mereka mengurangi intensitas mengundang hal-hal yang tidak perlu. Lebih tepatnya, membicarakan makhluk halus. Akibatnya, suasana kos terasa dingin seperti hati Zainal. Ibnu setali tiga uang dengannya.
Sore ini Zainal tidak sanggup mengobrol dan hanya mampu menghela napas setelah sampai kamar. Dia berusaha bertingkah wajar, tetapi tetap tidak mudah melakukannya ketika melihat keramahan Ade meskipun dia setuju teman-temannya membawanya ke kos untuk memeriksa keadaan. Entah kenapa benaknya seperti menolak. Barangkali otaknya memperingatkan seseorang yang terlalu baik seperti Ade biasanya memiliki agendanya sendiri.
Beruntung, dari dalam kamar, Zainal bisa mendengar obrolan di ruang tamu meski lirih.
"Kalau begitu, saya turun dulu, Nak Ade. Sampean kasih tahu anak-anak kalau butuh apa-apa. Minta tolong pisang goreng dan tehnya dihabiskan dulu sebelum pamit pulang."
"Iya, Pak. Terima kasih suguhannya."
Sekejap setelah memastikan Suyitno tidak berada dalam radar pantauan, mereka mulai mengecilkan volume suaranya. Zainal tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.
"Pak Dirga, Mas Mario, minta tolong Mas Zainal-nya dijaga," ucap Ade saat pamit kepada keduanya.
"Iya, Pak," Dirga mewakili.
"Kira-kira, kos kami sebenarnya angker apa nggak, sih, Pak?" Mario akhirnya mengeluarkan pertanyaan absurd-nya, "Saya dengar dari ibu warung depan kalau ada yang bunuh diri di sini. Arwahnya penasaran. Karena Pak Ade bisa tahu mereka yang nggak kelihatan, boleh bocorin ke saya, Pak," suaranya memelas.
"Apa perlu saya jawab, Mas Mario?"
"Ng-nggak usah deh, Pak."
"Bagus, lah." Sebelum Ade beranjak, dia sempat berbisik kepada Dirga, "Satu lagi, saya minta tolong Pak Dirga konsentrasi buat penerawangan kamar kosong. Saya curiga ada yang bersembunyi di sana."
"Iya, Pak," balas Dirga. Mario sebenarnya ingin marah karena tidak dilibatkan dalam obrolan, tetapi segan.
"Kalau ke sini lagi, saya bantu komunikasi. Tapi mungkin Pak Suyitno akan curiga dengan kedatangan saya. Jadi, saya akan pikirkan dulu alasannya."
"Menurut saya, Pak Ade kos di sini saja sementara waktu. Sebulan, biar bapak kos nggak curiga. Kita patungan buat bayar kos Pak Ade juga nggak apa-apa. Asal tempat ini nggak horor lagi," Mario mencoba memberi saran dan melirik ke arah Dirga untuk persetujuan.
Ade mengangguk-angguk lambat. "Boleh juga idenya."
Dirga memandang balik Mario yang sedang bergembira mendengar balasan Ade.
"Aku ngikut aja," Dirga berkata ragu.
Sembari menunggu di pintu depan bersama pemilik kos, Ade meminta izin sebentar untuk ke kamar mandi. Kemudian setelah bertemu muka, dia pamit undur diri. Ade berkata kemungkinan akan indekos di rumah mereka. Mario menyambut dengan syukur, tetapi Dirga meragukannya.
"Pak Ade, boleh tanya sedikit?" Mario menghentikan langkah Ade yang sudah ada di balik pagar depan. Dirga memutar bola matanya jengah, sementara Suyitno dan Eti sudah melangkah kembali ke dalam rumah.
"Mau tanya apa, Mas?"
"Kira-kira kalau saya diganggu sama hantu, yang paling ampuh buat mengusir mereka apa, ya?"
"Telanjang," balas Ade. "Saya pamit Pak Dirga, Mas Mario. Pasti saya datang lagi soalnya masih ada yang mengganjal tentang rumah ini."
Dirga dan Mario berpandangan sejenak setelah mendengar perkataan Ade yang telah raib dari hadapan mereka.
"Memangnya harus telanjang banget, ya? Ini beneran sarannya?" tanya Mario.
"Jangan. Pak Ade ngarang. Kamu mau kejadian lagi pas telanjang di kamar kayak kemarin dulu itu, terus diganggu malam-malam?"
Sambil menarik pelan pagar besi supaya menutup, Mario menggeleng-geleng. Udara mendadak dingin seperti mau turun hujan.
"Kalau dingin begini pengin yang hangat-hangat. Teh hangat, mau? Kalau mau, aku bungkusin," tawar Mario. Dirga menolak dan masuk kembali ke rumah, melepas sendirian Mario yang tengah melangkah menuju Warung Bu Sri.
***
Ketenangan di dalam kos sirna begitu Dirga melihat Zainal berdiri di depan pintu kamar kosong. Tatapannya tak kalah kosongnya ketika menoleh padanya.
Dari tangga samping tempatnya berdiri, Dirga membaui aroma terasi dibakar. Dia menyadari ada yang tidak beres. Beberapa sosok asing terlihat samar, keluar-masuk kamar kosong itu. Mereka seperti sedang berpesta.
Dirga merinding teringat cerita Ade.
Sepanjang mengobrol, penerawangan terhadap kos mereka belum menemui titik akhir. Ditambah lagi, sesuatu seperti bersembunyi di dalam kamar kosong. Belum lagi, entah pertautan apa yang melekat antara pemilik kos, penunggu kos, Ade, dan anak-anak kos itu sendiri. Apakah ada hubungannya dengan Wojogeni dan tipu dayanya? Dirga belum bisa memahami itu semua. Anehnya, dia merasa hal itu secara tidak langsung menjadi kepentingannya juga. Dia ingin membereskan masalah horor di rumah kos ini. Sebab, berkenaan langsung dengan teman-temannya. Nyawa mereka.
Dahulu Dirga enggan melakukan upaya untuk mengusir yang tak berwujud tanpa tahu alasan mereka singgah. Tutup mulut terhadap apa pun yang tidak terlihat jelas lebih menguntungkan. Membantu orang lain bukanlah prioritasnya. Baginya, yang terpenting adalah menemukan informasi mengenai nasib Mbah Sami, sementara Zainal adalah orang lain baginya, dan seharusnya menjadi hitungan yang ke sekian ketika diurut.
Namun, ketika langkahnya terhenti tepat di hadapan Zainal, Dirga tahu apa yang harus dilakukan. Dia akan menyelamatkan teman-temannya lebih dulu.
Dirga mengembuskan napas perlahan, sebab detak jantungnya kini meningkat. Benaknya membayangkan sesuatu yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya, tetapi menjadi hal penting dalam hidupnya.
Dia lalu mendekatkan tangannya untuk menyentuh pundak Zainal. Dirga tersentak ketika menarik tangannya. Hawa dingin menjalar. Kosong begitu terasa.
Diusirnya perasaan itu. Dia tahu, jauh sebelum Zainal mendapati serangan Wojogeni, ada yang tidak beres dengan pribadinya.
"Ternyata aku belum siap mati," ucap Zainal seperti bisikan. Dia terpejam, lalu ambruk. Untung Dirga tepat menangkap tubuhnya sebelum membentur lantai.
Ketika hawa dingin semakin menipis, Dirga takut membayangkan jika Zainal telah menggadaikan jiwanya kepada iblis, jauh sebelum mengenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...