Bab 28 : Kongsian Terbelah

2K 234 20
                                    

Sepulang dari rumah Ade, Dirga cepat-cepat mencuci kaki sebelum menuju lantai dua kos.

Di sana, semua orang sedang berkumpul. Tivi menyala, tetapi mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemungkinan besar menunggu formasi lengkap sebelum bercerita panjang lebar.

Dirga berdiri di ambang pintu untuk memperhatikan. Ganda dan Mario masih sama seperti siang tadi. Zainal sudah tidak lagi pucat. Ibnu terlihat lebih baik, hanya kantong matanya tebal.

"Kamu nggak masuk kerja, Nu?" tanya Dirga setelah memilih duduk di sebelahnya.

"Tiba-tiba pusing, jadi aku izin nggak masuk."

Dirga manggut-manggut. Karena formasi sudah lengkap, Ganda segera membuka obrolan. Dia menceritakan pertemuan di kantin, termasuk soal Ade yang akan berkunjung ke rumah kos. Dirga menambahkan, jadwal kedatangannya adalah esok hari. Zainal dan Ibnu mengangguk kecil dan bernapas lega.

Sebenarnya, Dirga ingin menceritakan penemuannya di rumah Ade, tetapi seperti ada yang menahannya. Entah kenapa, dia ragu berbagi cerita dengan teman-temannya. Apa tanggapan mereka jika sampai tahu foto Suyitno berserta istri, dan Zainal, ada di sana?

Mendadak benak Dirga mengelana jauh ke hal yang terpinggirkan sebelumnya.

Sampai suara dehaman membuyarkan lamunan Dirga dan perkumpulan kawan-kawannya. Kepala Suyitno muncul dari tangga induk dan berkata kalau sudah waktunya istirahat.

Mereka bubar dan masuk ke kamar masing-masing, berharap kedatangan Ade esok hari membawa harapan.

***

Turun-naik tangga menjadi pekerjaan berat bagi Suyitno. Setelah membereskan obrolan di lantai dua, dia kembali ke bawa. Eti yang duduk di dekat ruang tamu sengaja menunggunya.

"Kancilen (tidak bisa tidur)?" tanya Eti sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Suyitno baru menjawab pertanyaan istrinya setelah duduk di sebelahnya. "Nggak. Cuma nyuruh yang di atas tidur soalnya sudah malam. Habis ini juga mau langsung ke kamar."

Eti manggut-manggut.

"Perasaanku kok nggak enak, ya," kata Eti tiba-tiba.

"Nggak enak bagaimana?"

"Embuh (tidak tahu). Sejak tadi seperti ada yang meniup telingaku."

"Halah, nek wis tuwek biasa ngono (kalau sudah tua biasa begitu). Mungkin malaikat datang mau nyabut nyawa."

"Kamu ini, lho. Bahasanya selalu bikin ngeri. Ndak ilok ngomong ngono iku (tidak baik bicara begitu itu)"

"Ya, habisnya kamu ada-ada saja." Suyitno menepuk bahu istrinya pelan seraya bangkit berdiri. "Ayo, tidur. Balungan tuwek ojo kakehan melek bengi (orang tua tidak baik begadang)."

Baru saja mereka melangkah menyurusi temaram ruang tamu, bunyi dentuman terdengar dari atas genting.

Dhar....

Suyitno mendekati jam dinding, memastikan penglihatannya. Pukul 12 malam. Sudah dua kali bunyi yang sama terdengar dari atap rumah. Itu artinya, tidak ada main-main lagi. Yang ketiga berarti salah satu dari mereka harus ada yang musnah. Dia, atau yang mengirim bala ke rumahnya.

Malam ini persis kejadian yang sudah lama ingin dilupakannya.

- - -

Ketawang. Tahun 1965.

Hutan Gunung Wilis setelah berondongan peluru menembus badan orang-orang sayap kiri.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang