Ketawang. Tahun 1965.
Suyitno terjun ke dunia militer.
Bila ditarik garis ke belakang, usianya baru seumur jagung ketika kehilangan segalanya. Rumahnya dilalap api bersama kedua orangtuanya. Beruntung atau mungkin nahas, Suyitno selamat karena hujan lebat mengguyur. Kala itu dia didekap bapak dan biyungnya ketika api menjilat, hingga luka bakar keduanya tidak dapat diobati dan menyebabkan kematian. Kebakaran terjadi akibat pertikaian penggiat musala dan oknum politik sayap kiri.
Sejak itu, Suyitno diasuh berpindah-pindah, mulai dari pemilik warung yang mengajarkan menghafal segala umpatan, sampai Mbok Benik, penjual pecel pincuk di pasar. Mbok Benik dan Suyitno seolah berbagi nasib. Keduanya sama-sama kehilangan orang tersayang karena peristiwa memilukan. Bedanya, anak Mbok Benik meninggal dunia karena mabuk jamur dan ditemukan mengambang di sungai beriak tenang.
Memelesat bagai busur panah, usia Mbok Benik dan Suyitno tidak lagi muda.
Petang sebelum Mbok Benik meninggal dunia, dia memanggil anak angkatnya yang sudah beranjak remaja. Wanita itu berbaring lemah di ranjang beralas tikar. Karena suara Mbok Benik sudah di ujung tanduk, remaja itu harus menunduk dan menajamkan pendengarannya ketika ibu angkatnya bicara.
"Le, bocah bagus. Mbok pamit pergi―"
"Ke mana, Mbok?"
"Tempat yang jauh, tapi jangan nyusul cepat-cepat."
"Aku ikut!"
Mbok Benik menggeleng lemah. "Kau harus tetap hidup."
"Bagaimana caranya hidup kalau orang yang aku lihat setiap hari sudah tidak ada di dunia ini?"
"Raga Mbok memang sudah tidak di dunia ini lagi, tapi yakinlah, Mbok akan selalu bersamamu. Jadi kebanggaan Mbok. Kau tahu keinginan Mbok yang belum terkabul, kan?"
"Masuk militer? Untuk apa? Mereka tidak ada guna―" Suyitno menggunting kalimatnya sendiri. Dia tidak tega melihat mata Mbok Benik mulai berkaca-kaca.
"Supaya kau berguna dan bisa menolong orang-orang seperti bapak dan biyungmu yang tidak berdaya."
Tenggorokan Suyitno tersekat.
"Janji yo, Le."
Suyitno membisu.
"Le...."
"Iya."
Tarikan napas Mbok Benik tersendat sekali, lalu matanya menutup perlahan setelah menyusul telapak tangannya tergerak menumpuk di atas perut, tertata dengan sendirinya. Sontak, air mata remaja itu berderai.
Seperti menemukan jalan, Suyitno dengan mudah memasuki dunia militer. Mungkin karena tidak banyak peminat dan orang-orang lebih memilih menjadi petani atau pedagang, jadi kesempatan untuk menjadi anggota militer terbuka lebar. Jalannya pun tidak terlalu terjal.
***
Bersama satu peleton berjumlah 32 orang, tubuh ringkih Suyitno terlihat lemah di antara yang lain. Dia tidak terlalu tinggi, dan kurus. Namun anehnya, setiap kali latihan, Suyitno selalu mewakili grup yang bejumlah delapan orang dengan menjadi komandan regu. Ketangkasan yang diragukan semua orang, keliru. Adu taktik pun selalu mereka menangi. Termasuk, laga di ring tinju. Mungkin karena anak kampung, jadi hidup keras sudah biasa dilakoninya.
Hanya saja, pandangan meremehkan masih diperolehnya selama pendidikan militer. Beberapa kali Suyitno seperti tak punya daya ketika menunjukkan tajinya sebagai komandan regu, kecuali pada satu orang. Dia tidak terlihat meremehkan, pun tanggap. Hal itu membuatnya penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...