Bab 12 : Surya Tenggelam

3.1K 308 12
                                    

Pesan Mbok Benik terngiang.

Apa yang tidak terlihat sebaiknya tidak diganggu. Biarkan saja.

Namun rasa penasaran terus mencari celah dan menggelitik naluri, apalagi sejak Suyitno mengikuti puasa pati geni selama 40 hari.

Belum sempat dia bertanya, Wiwit menjelaskan singkat. Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga terjaga dari tidur dan hawa nafsu. Kegunaannya selain enteng jodoh, juga membersihkan hati. Sebab, untuk mengetahui alam lain dibutuhkan semua itu.

Mengetahuinya, membuat Suyitno bersemangat. Ditambah lagi ada kembang desa yang diincarnya bernama Eti.

Hari-hari berlalu. Mereka tidak lagi peduli pandangan meremehkan ketika melakukan hal-hal tak biasa. Semisal, menghadap timur sebelum matahari terbit sambil menangkupkan kedua tangan di dada seraya komat-kamit merapal. Tak ragu, Wiwit gelontorkan kitab-kitab. Dia bercerita selayaknya pendongeng. Sepertinya Wiwit berniat mewariskan ilmunya atau mencari teman untuk berpaling dari Yang Maha Satu.

"Kau sudah siap melihat dunia yang selama ini hanya ada dalam bayangmu?" tanya Wiwit setelah mereka menyelesaikan puasa pati geni.

Suyitno mengangguk.

"Pertama-tama kita lihat penunggunya dulu. Kau bisa gila jika langsung bertamu ke sana," Wiwit menyarankan. "Lalu mengenai tempat, apakah sudah beres?"

"Sudah. Sawah di dekat rumah Eti aman. Sore tadi baru selamatan supaya bulir padi cepat muncul."

"Eti? Kekasih yang kau ceritakan itu?"

Wajah Suyitno bersemu merah. "Calon kekasih," pungkasnya.

"Bukannya―"

"Sudah lah," potong Suyitno lekas. Dia mengantisipasi tawa Wiwit yang mungkin akan meledak.

Tanpa banyak cakap, malam harinya mereka berjalan tegap melalui jalanan berdebu setelah keluar dari markas. Lepas dari pos ronda, keduanya mengobrol sebentar dengan beberapa pemuda yang sedang siskamling, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sawah milik keluarga Eti.

Suyitno sempat mencuri pandang ketika melewati rumah cukup mentereng sebelum sampai sawah. Keluarga Eti termasuk terpandang. Bapaknya memiliki gudang beras. Sawahnya banyak. Salah satunya, ada di hadapan mereka sekarang.

Dipayungi langit bertabur bintang dan beradu embusan angin menyebabkan suara gesekan antar daun padi. Keduanya berbaris di setapak menuju ujung sawah, tempat cok bakal (sesajen) diletakkan. Sego golong (nasi dibentuk bulatan-bulatan) dalam takir (wadah dari daun pisang) ditemani lauk, rujak serut, putu mayang dan cenil sebagai sesembahan untuk danyang (penjaga sawah).

Tengkuk Suyitno dingin ketika Wiwit berhenti melangkah.

"Mengapa kita tidak melakukannya di markas saja? Di sana pasti banyak penunggunya," Suyitno berkata lirih.

"Bukankah kau yang meminta ke sini supaya bisa mendekati Eti?" balas Wiwit.

"Be-benar. Kira-kira, apakah Mbok Sri (sebutan lain untuk Dewi Padi) akan muncul?"

"Kita memang mengundangnya hadir supaya kau tahu bagaimana rupanya. Jadi, semoga Mbok Sri mau menampakkan diri."

"Apa sebaiknya dibatalkan saja?"

Wiwit menoleh. Tersirat ketakutan Suyitno saat menggeleng. Setelahnya, Suyitno diperintah untuk memejam. Wiwit komat-kamit membaca rapalan.

Om Shrim Hrim Klim Mahalakshmi Namah....

Nyaris mirip desahan, Suyitno terkesiap. Dia mengerjap ketika tampak pendar kekuningan nun jauh, bergerak mendekat.

Ketika jarak menyusut, dia dibuat kagum dengan penampakan Mbok Sri yang berpakaian seperti lakon wayang orang dengan selendang berwarna kuning, melayang-layang diterpa angin, berkelat bahu dengan pinjung (kemben) berwarna hijau dan jarit. Kakinya tidak menapak.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang