Bab 10 : Dentum

3.7K 345 21
                                    

Tepat setelah istirahat makan siang, General Manager mal bernama Bono meminta HRD memberitahu perwakilan tiap bagian berkumpul di ruang meeting. Karena Agus mendapat jatah piket bergilir dan baru istirahat makan siang setelah Dirga balik ke kantor, otomatis perwakilan Tenancy tertuju padanya.

Seperti biasa, kantor pusat selalu memberi kejutan tak menyenangkan mendekati pertengahan atau akhir tahun. Tahun lalu, mereka meminta rekapan data pertengahan tahun di-compared dengan data tahun sebelumnya, termasuk pivot table-nya. Padahal, setiap bulan tiap bagian melalui HRD mengirimkan soft copy laporan bulanan lewat collect email. Sungguh luar biasa kemalasan kantor pusat dalam membaca dan mengolah data.

Hari ini briefing berjalan sekitar 15 menit, tetapi menghasilkan bahan renungan seharian.

Sebelum istirahat, Agus berkelakar hari ini tidak banyak tamu. Dia sampai bosan bermain Zombie versus Plant 2. Sialnya, Dirga mengamini ucapannya. Setelah pihak kontraktor mengabarkan tidak bisa hadir dan setelah kembali dari pemakaman Irul, Dirga hanya sibuk filing untuk mengusir bayangan Ade dari dalam benaknya. Seperti dijemput karma, pekerjaan menari-nari dalam kerjapan.

Sekembalinya Agus dari istirahat makan siang, mereka kelabakan menyelesaikan pekerjaan yang datang silih berganti. Mereka baru bisa mengerjakan actual based on level dan mid year occupancy pesanan Bono setelah pukul 17.00.

Alhasil, Dirga memberedel lima laporan bulanan dalam ordner dan membandingkannya dengan laporan bulanan milik Marketing dan Casual Leasing yang dipinjamkannya dengan setengah hati. Mereka takut kalau sampai data perusahaan bocor. Padahal, Dirga dan Agus tidak peduli dengan pendapatan berpuluh-puluh M perusahaan setiap bulannya. Yang mereka pedulikan hanya pulang kantor cepat.

Baru separuh perjalanan, ponsel Agus meraung. Dia menyodorkan layar ponselnya ke muka Dirga supaya bisa membaca siapa yang mengganggu lemburnya. Lampir.

Dirga mengernyit. "Siapa Lampir?"

"Istriku. Aku jawab dulu teleponnya daripada nanti disuruh tidur di luar pakai bantal kubis." Agus tergerak menuju ruang tunggu untuk menerima telepon. Dirga mengangkat jempol sambil terkikik.

Sedetik kemudian, rasa cemas pun hadir. Dirga curiga Agus akan melarikan diri.

Benar saja. Agus kembali dengan wajah memelas. "Anakku sakit. Panas badannya tinggi. Si lampir panik, terus nyuruh aku pulang."

Bisa ditebak, Agus melenggang setelah Dirga mengizinkannya pulang dengan hati teriris sembilu. Hah, lebay! Tanpa sadar dia sudah ketularan Ibnu.

Agus memelesat. Tinggal Dirga dan Security yang berjaga di meja operator. Karena Marketing dan Casual Leasing punya banyak anggota dan pekerjaan mereka terdata secara sistem, otomatis mereka hanya perlu mengedit laporan sebentar. Usai magrib, mereka sudah pulang duluan.

Seperti dikejar setan, mata Dirga tak lepas dari angka pada tabel komputer, kemudian menoleh pada ordner berisi hard copy, lalu memindahkan semua itu ke dalam sistem pivot untuk diolahnya lagi sesuai permintaan Bono. Meski Dirga menyukai musik rock dan memuja vokalisnya, tetapi Bono yang satu ini sungguh dibencinya. Beliau tidak pernah memberi napas. Kerja bagai kuda seolah mendarah daging.

Ini jelas karma. Dirga sudah mengambil jatah santainya, jadi wajar kalau sekarang kelabakan. Seharusnya, dia paham arti peribahasa: Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Asal jangan dibalik saja.

Usai memeriksa dua laporan cetak tepat pukul 22.00, Dirga baru bisa meregangkan otot-ototnya. Secepatnya dia memasang trigonal clip dan meletakkan satu cetakan laporan di meja Bono.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang