Bab 20 : Sesi Pemanggilan

2.2K 271 6
                                    

Sebelum Zainal terjatuh dari tangga....

Mimpi itu datang lagi.

Bengawan, rumpun bambu, keriut daun dan ranting saling bergesekan, kemudian suara parau sesosok astral. Tak lama, terpampang wajah Ngadirah sedang termenung.

Dorong saja, Dirah. Dorong selagi tidak ada orang!

Nyalang tampak di matanya, tertuju kepada Sami. Tangan kecilnya gemetar mencabuti kembang.

"Tenang saja, kau pasti diajak ke pasar malam," hibur Sami. "Mungkin bapakmu belum bilang saja."

Ngadirah melirik sebal.

"Kau enak, Dirah. Bapak saya tidak ada waktu mengajak saya ke pasar malam, bahkan mungkin sudah lupa memiliki anak," imbuh Sami seraya memandang jauh riak bengawan. Pelupuknya mendung.

Rahang keras Ngadirah melunak selepas mendengar ucapan sepupunya itu. Meskipun dia tidak paham masalah yang menimpa keluarga Sami, tetapi dia tahu ada yang tidak beres dengan kelakuan bapaknya. Selentingan kabar berembus. Bapak Sami kepincut perempuan penjual kopi di desa seberang.

"Coba saja kau ada di posisi saya. Pasti kau paham betapa bahagianya memiliki keluarga utuh seperti milikmu, Dirah. Kalau saja hidup berpihak, saya ingin sekali bertukar nasib...."

"Maksudmu, kau ingin bertukar nasib dengan saya?" Ngadirah menukas jengkel. Kepalan tangannya kembali mengencang, mendengar kalimat konyol dari sepupunya itu.

Dia memang tidak tahu diri, Dirah. Kalau sudah seperti ini, siapa yang bisa menjamin suatu saat Sami tidak akan mengambil bapakmu? Orang yang kau sayangi?

Bisikan itu mengencangkan niatan Ngadirah ketika berjingkat-jingkat menuju tempat Sami memandangi riak bengawan. Kedua tangan Ngadirah terangkat, sedada. Pandangannya nanar.

Tak lama, suara benda jatuh terdengar di antara riak bengawan. Kepala dan tangan Sami beberapa kali tampak menggapai udara. Begitu kesadarannya pulih, kenyataan pahit segera mengambil alih.

"Tolooong," lolongan Ngadirah keluar bersama dengkulnya yang lemas. Dia terduduk mengulangi seruannya sampai mengerumun, sebab Sami tidak lagi muncul ke permukaan.

***

Dirga terkesiap, menekan jantungnya yang seperti melompat keluar. Dia tidak ingin memercayai mimpinya, karena kesadarannya kini timpang sebelah. Mimpi yang sebelumnya terhenti dan cerita yang kemungkinan besar Mbah Putri tidak selesaikan, berkelindan.

Nggak mungkin. Ini pasti tipuan. Mbah Putri nggak mungkin senekat itu.

Dirga menggeleng kuat-kuat. "Aku harus menyelidikinya. Aku harus membuktikan cerita Mbah Putri yang benar, dan makhluk itu yang salah," gumamnya.

Selepas mengelap titik-titik keringat, Dirga duduk bersila di atas kasur. Dia lalu membersihkan benaknya dari segala prasangka, memejam, menajamkan batinnya.

Salamun jagad aki, nini, danyang.

Terap-terap danyang sabuwono, siro podho tumeko.
Terap-terap danyang kang mbau rekso Gunung Kawi, siro podho ewang-ewangono aku iki turune prabu Aji Soko.

Buka'no plawangan Wojogeni.

Kulo undang panjenengan amargi kalepatan. Mugi-mugi, panjenengan purun dugi. Bumi, langit, wetan, kulon, pancer bumi lan angin-angin, supados sedoyonipun aki, nini, danyang, kawulo nyuwun pitulung pakundang panjenengan Wojogeni.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang