Bab 33 : Sang Titular

1.9K 236 44
                                    

Wojogeni

Aku tidak sengaja bertemu mereka di Hutan Gunung Wilis. Wajah mereka pias, persis mayat ketika melihatku.

Hutan sedang hujan lebat saat kutopang tubuhku pada sebatang pohon cemara. Mereka pasti berpikir, aku ini makhluk dongeng. Aku ingin tertawa.

Sengaja aku menampakkan diri, terutama kepada yang bernama Suyitno. Dia ketakutan saat menuntaskan kencingnya.

Saat itu, aku menempel erat pada sebatang pohon cemara kokoh. Aku ingin bermain dengan mereka. Aku penasaran, sejauh mana mereka bisa kujungkirbalikkan kehidupannya. Meski nantinya mereka menyesal, aku tidak peduli. Toh, kelak, mereka akan menjadi sekutuku untuk selama-lamanya. Di dunia, maupun setelah dunia berakhir. Hidup dan menghidupi alam tiada akhir dengan menjadi kayu bakarnya.

Ingatanku masih kuat.

Beribu tahun lalu, manusia seperti mereka datang sekelebat.

Aku mengawasi mereka dari balik rumpun bambu atau di antara batu besar melintang membelah lembah dan jurang. Termasuk, pada pucuk-pucuk pohon yang mengular sebelum akhirnya kukuku yang tajam berhasil mengoyak benang-benang halus dari batang tenggorokan mereka. Menyesap darah yang mengucur hingga mereka tak sanggup memilah antara berkawan dengan hitam atau putih.

Di beberapa kesempatan, aku pernah tidak sengaja terluka akibat mencoba lepas dari jampi salah satu dukun. Dia sempat menggaris lurus punggungku, dan aku berhasil menarik putus kepalanya.

Bukan hal pertama bagiku menjumpai kepala terlepas dari badan. Aku pernah menjumpai banyak kepala menggelinding, di satu masa ketika terjadi pertikaian besar di sebuah pulau berbentuk semar. Aku pemantiknya.

Pernah kusaksikan bagian tubuh melepuh terkena terjangan lahar saat gunung merapi meraung, seperti Ibu yang akan melahirkan jabang bayi dari lubang kehidupannya, mencoba menarik napas, tetapi harus ada yang dikorbankan untuk mendapatkan ketenangan semacam itu kembali. Aku yang berbisik supaya mereka tinggal.

Sekali waktu, aku amati para maling yang tak mengakui perbuatannya. Bahkan, ada yang mengaku alim ulama, tetapi berani memakan bangkai saudaranya sendiri.

Sejak beribu tahun lalu, aku penasaran dengan dunia manusia. Kuikuti kemauanku membaur, menawarkan bermacam penyembuh untuk yang hanya berdoa tanpa usaha.

Tentu tidak ada yang gratis. Aku selalu memberi syarat. Kebahagiaan ditukar nyawa, walaupun sebenarnya aku tak terlalu menyukai roh para pendosa itu.

Suatu hari, aku pernah salah langkah.

Pohon ketapang yang kutempati diambil alih dedemit gembel dengan taring panjang dan anak buahnya yang bertangan lebih panjang dari tubuhnya. Satu hal yang tak kupedulikan waktu itu adalah mereka cukup mengusik ketenanganku, sebab pemiliknya tak lebih dari seorang kacung yang peroleh jampi dari leluhurnya, dan bisa membelengguku sementara waktu. Sama seperti pemilik rumah, si penunggu pohon ketapang juga tidak tahu diri. Dengan sembrononya dia ingin mempersuntingku. Aku tak sudi. Makanya, kuberi dia kenang-kenangan berupa cakaran di wajah yang tak mungkin dia hapus selama di dunia atau di Neraka kelak, bersama pembantu-pembantu setianya.

Aku ingat berhasil kabur ketika jampinya melemah. Aku kabur ketika dedemit penunggu pohon ketapang seperti terbelenggu pada bulan tertentu, setiap setahun sekali. Anehnya, aku malah terbebas.

Sebenarnya tidak banyak yang mengenaliku, kecuali raja dan para kasim yang meminta secuil kekuatan, ditukar bermacam penganan lezat yang tak akan pernah kulupakan rasanya. Mereka mempersembahkan kembang setaman segar setiap hari, darah segar ayam hitam sebagai pencuci mulut yang mereka tuang pada keris pusaka setiap Sura dan berbagai macam makanan dalam bokor tembaga yang tersaji di atas almari kayu, dengan gambar tetua mereka yang tak kukenal. Mungkin mereka sedang tersesat di dunia, di mana makhluk terbuang berada, dan tak kusukai aromanya. Aroma pekat mayat dan remahan tanah kuburan.

Sampai beberapa puluh tahun lalu, aku hanya mau menampakkan diri jika ada keinginan untuk menguji, apakah kepekaan masih dalam kendaliku. Semisal, kepada satu atau dua dukun yang mengaku sakti dan bisa melihat hantu sebenderang memandang matahari. Pada seorang perempuan yang selalu mencariku sampai maut memelesat dari raganya. Dan satu keturunannya yang tak kusukai. Baunya tak bisa kudeteksi, tetapi mampu menarikku mengikuti kemauannya.

Beberapa orang jika mereka sedang sial dan berselisih jalan denganku, bisa kupastikan hanya mengendus aromaku dari jauh. Kata mereka, bau anyir. Padahal, aromanya kusamarkan supaya mirip dedemit lain. Kalau kalian mau tahu, aroma kesturi. Untung hanya aroma yang mereka kenali, tetapi tidak dengan rupa cantikku, walau dengan mulut lebar yang sengaja kurobek dengan kukuku supaya bisa memakan sebanyak mungkin sesajen ketika menginginkannya.

Sebenarnya aku benci mereka. Sebab, semakin hari banyak manusia mencoba merayuku untuk menjadi sekutu. Jangan harap aku mau.

Namun, untuk pertama kalinya aku bersekutu dengan Suyitno. Kuberi dia kekayaan, tetapi dia tidak tahu jika harus mengorbankan banyak hal. Termasuk, calon anak-anaknya. Bahkan sebelum istrinya merasakan kehamilan, aku sudah menyesap jabang bayi dalam kandungannya. Untuk menjerat kesetiaannya, aku mendapat jatah darah segar setiap kali menginginkannya. Aku tinggal ucap, maka dalam waktu singkat akan mendapatkannya tanpa perlu bersusah payah, apalagi mengotori tanganku sendiri.

Bertahun-tahun tanpa sepengetahuannya, aku pergi mencari pintu duniaku di pantai selatan. Namun saat Suyitno memerlukanku, melalui boneka dan cawan tembaga, dia memanggil. Dia kira bisa mengunciku dengan benda semacam itu. Menggelikan. Yang kusukai darinya hanyalah aroma dupa dan kemenyan, serta bunga tujuh rupa segar. Sisanya? aku tidak peduli.

Sejak menelusuri Gunung Kawi untuk mengawasi seseorang yang kupikir bisa membawaku kembali ke duniaku, akhirnya aku menyerah setelah semakin hari aura kebiruannya meredup. Apalagi untuk melihatku dia harus berpuasa dulu. Sampai dia harus moksa untuk sekadar membaui aromaku.

Aku pun kembali ke rumah Suyitno dengan tak bersemangat.

Namun, tepat ketika aku berhenti di halaman depan rumahnya, ada semacam aura yang tak kukenali, memasuki pagar rumah. Pendar cahaya biru tua itu terlihat dari kejauhan. Warna yang kusukai. Namun, ada yang aneh. Ketika kudekati, auranya berganti cepat ke hijau terang. Belum pernah kutemui dua warna bertubrukan dalam satu tubuh manusia, dan dua-duanya warna yang kusukai. Anehnya, aku seperti tersedot untuk mengetahui sebabnya.

Saat itulah, kami sama-sama terkejut. Apalagi ketika dia mampu melihat dan membauiku dalam jarak dekat.

Entah siapa yang memulai, aku mencoba menawarkan diri mendekat. Aku suka auranya ketika berwarna biru tua atau berganti hijau terang dalam hitungan detik. Mirip aroma laut yang sekali kudatangi ketika rindu tempat yang begitu luas, atau hutan bergugus rapat. Namun, dia menolakku. Aku marah besar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika sadar ada yang aneh darinya. Dia merapalkan sesuatu. Sesuatu yang pernah kudengar dari dukun perempuan yang mencariku sepanjang hayatnya.

Aku tidak mengira jika dia bisa mengusirku dengan rapalan yang kukira bohongan. Bahkan, aku tidak mengira dia bisa membentengi rumah itu dan tak membiarkanku masuk, kecuali beberapa setan kecil yang tak sengaja mampir dan dibiarkannya masuk.

Kurang ajar!

Tiba-tiba, entah apa yang mengubah keputusannya, dia memintaku datang pada satu malam dengan rapalan yang tak kukira bisa menarikku secara paksa untuk datang. Aku pun tak kuasa menolak. Auranya seperti penyegar.

Jadi, aku memperlihatkan diri di dalam kamarnya, menawarkan hal serupa seperti yang diminta orang-orang. Aku bahkan menawarkannya menjadi Tuanku. Tentu saja hal itu untuk mengelabuhinya karena itulah tugas utamaku di dunia manusia.

Tak lama berbincang, dia mengusirku kembali. Untung aku sempat pergi lebih dulu. Bersembunyi dan berhasil mengelak. Aku butuh pengalihan. Ada satu penunggu kamar kosong bernama Pocong yang siap membantu penyamaranku.

Anehnya lagi, dia tidak meneruskan membaca rapalan untuk mengusirku.

Jadi, aku harus berhati-hati dengan satu orang ini.

Kepalaku serasa mendidih kala ingat tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, untuk membalas, aku akan meminta pemilik kos memberiku jatah makanan. Aku mewajibkan seorang dari penghuni kos. Entah siapa, aku tidak peduli. Selanjutnya, aku akan memutarbalikkan fakta.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang