Bab 52 : Tumbal Gedung Baru

4.2K 274 92
                                    

Empat Puluh Hari Setelah Kejadian Di Rumah Tusuk Sate.

Pukul 21.00. Tiga orang menunjukkan surat masuk barang, surat izin kerja lembur, dan surat keluar barang di posko, di dekat parkiran. Selanjutnya, kartu tanda penduduk mereka diganti name tag visitor oleh petugas.

Ketiganya menunggu di bawah pohon palem, di taman depan, di dekat posko keamanan. Stager, tangga, dan scafolding mereka keluarkan dari pikap dan diletakkan di dekat tempat kerja. Sembari menunggu lampu mal mati, mereka memantik rokok dan mengepulkan asapnya khidmat. Kopi dalam gelas air mineral mereka seruput dengan sama nikmatnya.

"Pripun ngenten niki, sak meniko kulo mboten gadah yotro (Bagaimana ini, aku nggak punya uang)," curhat Jumain, salah satu pekerja di sebuah percetakan besar di daerah Soekarno-Hatta. Sambil mendengkus, dia menyeruput kopi panasnya. "Damel bayar SPP yogo mawon mboten wonten (buat bayar SPP sekolah anak saja tidak ada)."

"Dereng wonten (belum ada), Jum. Ora ilok ngomong mboten wonten. Koen engko ndak duwe duit temenan, kapok (nggak baik bilang nggak punya. Kamu nanti kalau nggak punya uang beneran, baru tahu rasa)," balas Pak Ri, senior di kantor dan berpangkat supervisor lapangan untuk pengerjaan dan pemasangan wallsign, poolsign, ataupun banner.

"Nggih (iya), Pak."

"Sebentar lagi juga dapat uang, Jum. Lumayan lho, dari mindahin satu wallsign kamu bisa dapat lima ratus ribu. Ada dua lagi yang perlu dipindah."

"Bagi tiga, Pak," timpal Ibrohim yang sedang menikmati pisang goreng. "Alhamdulillah ya, Pak Jum, Pak Ri, uangnya nanti bisa buat tambahan modal kawin. Eh, bapak-bapak mau pisang goreng?"

"Koen nek krungu duit ae ndak budeg (kamu kalau dengar kata uang kok nggak tuli)," umpat Pak Ri. "Ya, mau lah." Dia mencomot satu pisang goreng dari dalam wadah plastik. Ibrohim tertawa. Sebagai yang paling muda, dia biasa menjadi sasaraan candaan pekerja lainnya.

"Pak Jum, mau?"

"Nggak, Im. Makasih. Aku suka mencret kalau makan gorengan malam-malam."

"Harap maklum. Perut orang kota beda sama perut orang kabupaten," seloroh Pak Ri.

Ketiganya tergelak. Orang yang tinggal di kabupaten tidak akan menolak pisang goreng apalagi yang gratis, kecuali Jumain. Malam ini sebenarnya perasaannya tidak enak. Namun jika tidak mengambil pekerjaan ini, dapurnya tidak mengebul dan anaknya tidak sekolah.

Pekerjaan mereka malam ini fee-nya tergolong besar. Sebagai vendor, hal itu seperti mendapat durian runtuh. Mereka akan memindahkan dua wallsign dari dinding timur ke dinding barat mal. Sebab, dinding barat akan digunakan untuk memindah pool sign. Mal dan hotel sedang berbenah karena modal sudah balik, untung sudah berjalan, dan merasa perlu menambah beberapa fasilitas untuk menjadikan kawasan mal dan hotel menjadi superblok.

Pembangunan tahap satu dimulai dengan menambah lantai mal dan parkir untuk A-list brand nasional dan internasional, serta bioskop. Sementara hotel akan menambah satu ballroom. Izin pebangunan juga sudah pengembang kantongi.

Makanya, setelah keluar dari rumah sakit, Dirga dan Agus langsung disibukkan dengan mencari calon penyewa. Mereka diperbantukan ke bagian marketing.

Dirga bertugas merapikan data dan juga follow up by email atau telepon, jadi dia lebih banyak di kantor. Sementara Agus canvasing. Meski banyak complain keluar dari mulut karena harus sering keluar kota, Agus tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Guna meredakan frustrasi, Agus mengirim WhatsApp kepada Dirga di saat senggang.

[Anak dan istri aku suruh belajar makan angin atau kerikil supaya kalau nggak diperpanjang kontrak kerjaku karena cepek banget, sumpah, mereka nggak akan kelaparan. Kamu jangan nikah dulu kalau cuma buat status doang, Dirga. Enakan jomlo]

Dirga tersenyum dan mengirim emoticon berupa lengan berotot kepada Agus.

Beralih ke pekerjaan pemindahan wallsign, selesai merangkai stager dan scafolding di area duct luar lantai satu mal, Jumain segera memasang safety belt dan juga helm begitu meraih pegangan besi bagian bawah frame wallsign.

Lampu mal telah mati setelah peralatan dan perlengkapan yang akan mereka gunakan untuk menurunkan dan memindahkan wallsign, beres. Hanya lampu wallsign saja yang tetap menyala.

Berbarengan dengan kegiatan Jumain, satu petugas keamanan mengantar Pak Ri dan Ibrohim ke roof top, sementara dirinya mulai meniti scafolding, dan merangkak untuk mengaitkan safety belt di frame wallsign. Malam ini tidak terlalu berangin, tetapi tengkuknya seperti ditiup sedari tadi. Jumain merinding.

"Pak, sudah siap!" seru Jumain, mendongak. Belum juga ada sahutan dari Pak Ri ataupun Ibrohim dari roof top untuk memasang tali kekang baja. Dia menunggu sambil bergelantungan.

Pengait safety belt dan frame walsign terdengar berkeriuk saling bergesekan. Ketika Jumain menatap scafolding dan stager yang ada di bawahnya, dia baru menyadari jika posisinya tidak aman. Empat sisi scafolding telanjang, berbentuk seperti tabung memanjang. Karena sudah di atas, dia hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga nggak ada kejadian aneh-aneh.

Krosek... krosek....

Jumain mendongak kembali. Dia tidak menyangka melihat tatapan semerah darah dari makhluk yang tidak ingin dijumpainya malam ini. Makhluk itu bertengger di atas wallsign yang jadi tumpuan safety belt-nya. Senyumnya lebar sekali. Jari-jari tangannya menjulur panjang dan bersiap meraih apa pun yang ada di hadapannya.

Thak....

Tangan Jumain tidak sempat meraih frame wallsign saat safety belt-nya putus.

Tidak sampai sedetik, dia meluncur turun. Apesnya, sisi scafolding yang tidak berpengaman, menyambut punggung Jumain dengan suka cita. Lubang berbetuk tabung dan memanjang itu berhasil menembus jantungnya. Jumain melenguh sekali. Darah muncrat mengenai dinding bagian luar mal dan sisanya meleleh turun. Jumain bahkan tidak sempat memejam karena saking terkejutnya.

Sejurus kemudian, teriakan terdengar dari arah roof top. Pak Ri terpaku setelah meneriakkan namanya, sementara Ibrohim dan salah satu petugas keamanan meraung. Keduanya hampir pingsan mendapati pemandangan mengerikan di bawah sana. Punggung Jumain tertancap di scafolding sampai menembus dada, dan sepertinya dia sudah tidak bernyawa.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang