Bab 26 : Melangkah Dalam Diam

2.1K 264 10
                                    

Kengerian tergambar. Zainal tidak mengira sesuatu yang disimpannya dalam benak, tercium juga oleh bapak kosnya. Sesuatu yang ingin dilupakannya, bahkan sebelum Ganda bercerita mengenai penampakan genderuwo. Dia telah memulai kisah horornya sendiri, di kamar kosong, di sebelah kamar Mario.

Kala itu, pintu kamar kosong yang biasa tertutup, sedikit terbuka. Dari dalam kamar tercium aroma busuk saat anak-anak lain belum pulang. Zainal yang tidak berpikir panjang, mendekati celah pintu. Semakin dekat, aromanya makin kentara. Ketika Zainal menyurutkan niat untuk mengintip dan memilih melaporkannya ke pemilik kos, hal yang tidak pernah terbayangkan terjadi. Tepat saat dia berbalik, pintu menjeblak terbuka. Refleks, dia berbalik dan menemukan sosok itu berdiri di ambang pintu. Wajahnya menghitam. Zainal pingsan seketika.

Nahas, entah berapa lama Zainal tergeletak di lantai sampai-sampai dia bangun sendiri dengan kepala keliyengan dan kembali merinding ketika pintu kamar itu masih terbuka.

"Apa maksud Pak Suyitno tadi?" Ibnu berhasil membuyarkan lamunan Zainal mengenai ketakutan yang belum pernah dikisahkannya kepada siapa pun. Kata orangtuanya, pamali.

Zainal membalas dengan menggeleng lambat. Dia berniat menceritakan pengalaman horornya itu, tetapi ditelannya kembali.

"Menurutku, kita harus pindah dari sini," lanjut Ibnu dengan bibir bergetar.

"Memangnya masalah bakal beres kalau kita pindah kos?"

"Paling nggak, kita bisa mulai hidup tenang di tempat baru."

Zainal tergelak mendengar perkataan Ibnu yang mirip dialog sinetron yang sering mereka tonton dan cela sama-sama. Kemudian, dia hentikan tawanya setelah merasakan nyeri di tenggorokan. Seperti karma, Zainal berpikir bahwa dialah yang terkena azab sekarang.

"Kenapa ketawa?" Ibnu tidak terima meski Zainal sudah berhenti tertawa dan meringis menahan sakit. "Memangnya ada yang lucu?"

"Bukan. Cuma keingat kejadian lucu aja."

"Terus, gimana solusiku tadi?" kejar Ibnu.

"Anak-anak yang lain sekarang juga cari solusi. Kita tunggu aja kabar dari mereka."

"Solusinya apa?"

"Ya nggak tahu. Mungkin dengan menemui Pak Ade masalah ini bisa beres?"

Ibnu menempelkan punggungnya di kursi panjang. "Kalau nggak ada yang pindah, kayaknya aku mau pindah sendiri. Aku nggak mau jadi gila gara-gara lama tinggal di sini."

Tepat saat itulah, ponsel di kamar Ibnu meraung. Dia melangkah untuk meraih, dan kembali duduk sebelum deringnya selesai. Nama bapak Ibnu, Khodir, terpampang di layar ponsel.

"Halo, iya, Pak. Hari ini aku masuk siang... ada apa? Tumben telepon? Hmm, yang nangis itu siapa? Ibu?"

Ibnu kemudian hanya menjawab dengan "iya", "nggak tahu" dan "hmm". Wajahnya mendadak kuyu usai membalas salam dari ujung sambungan. Sembari meletakkan ponselnya, Ibnu mendesah kasar. Dia lalu menoleh ke arah Zainal. Pandangan mereka terkunci. Zainal hanya bisa menerka-nerka ke arah mana pembahasan Ibnu akan bermuara.

"Ada apa?" tanya Zainal lebih dulu, mencoba mengurai.

"Bener omonganmu tadi, Nal."

"Yang mana?"

"Kalau kita nggak mungkin bisa menghindar dari semua kehororan ini. Kayaknya dunia sedang berkonspirasi bikin pasungan buat kita di sini," Ibnu menatap nanar tembok di hadapannya. "Apa mati aja, ya, ditakut-takutin terus begini. Kayaknya lebih gampang daripada cari tempat kos. Toh, dulu pernah nyoba dan hampir berhasil," gumamnya lirih sambil menyentuh luka di pergelangan tangannya.

Zainal ingin tertawa mendengar ocehan Ibnu, tetapi ditahannya. Sebab, perkataan Ibnu ada benarnya. Tanpa mereka sadari, keduanya kompak membuang napas. "Kita tunggu kabar dari anak-anak. Semoga Pak Ade bisa bantu kita keluar dari masalah ini," hiburnya, kemudian melirik ke arah Ibnu. "Tapi betul katamu tadi, Nu. Kayaknya lebih gampang mati daripada nyari kos murah yang nggak berhantu."

Mereka mengakhiri pembahasan dengan dengkusan yang entah sudah berapa kali mereka lakukan.

***

Selesai mengobrol bersama Dirga dan kawan-kawannya, Ade bergegas pulang ke rumah. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya sekarang. Apalagi, dia ingat hari ini adalah Selasa Legi. Hari baik untuk menjajal kesaktiannya.

Kemudian, di dalam kamar persembahan berpenerangan temaram, Ade mulai menyusun keperluannya. Mulai dari kembang setaman, air japa, dan juga darah ayam hitam dalam bejana kecil. Kegiatan itu tergolong menyita waktu. Dia baru selesai mempersiapkan segala sesuatunya tepat saat garis cahaya di ufuk barat hampir tandas.

Malam ini, tepat pukul 12 malam, Ade berniat melancarkan serangan keduanya ke rumah kos tusuk sate.

Bola apinya tengah disiapkan.

Berbeda dari sebelumnya, kali ini Ade akan melakukannya dengan hati-hati. Dia tidak ingin serangan berbalik arah dan mengenainya. Memang, banyak resiko penyerta, sebab Ade belum bisa memastikan apakah tameng Suyitno masih sekuat dulu. Namun setelah membaca situasi terakhir, sepertinya tidak cukup waktu untuk menunggu lagi. Apalagi, Dirga belum memutuskan berdiri di pihak siapa.

Tepat ketika Ade memeriksa kemenyan dalam wadah yang sudah disiapkan, ketenangan yang mencurigakan seolah menyelimuti seisi rumah. Tidak biasanya makhluk-makhluk penunggu pohon ketapang berlaku tenang di pergantian hari. Teriakan nyaring yang biasa mereka lakukan, lenyap.

Ade bangkit untuk memeriksa, keluar dari sarang pemujaan dengan waswas.

Baru menutup pintu ruang pemujaan, benaknya memperingatkan bahwa ada yang tidak beres di luar rumah. Dia melangkah mendekati jendela kaca yang dibatasi tirai, menyingkapnya sedikit supaya ekor matanya bisa memeriksa halaman depan rumah.

Diperhatikannya sesosok bayangan berdiri di seberang pintu pagar, menatap ke dalam rumahnya. Meski Ade mimicing, dia tetap tidak bisa mengenali sosoknya.

Ketukan di pintu tiba-tiba menjebol pertahanan jantung Ade. Debarnya mengejutkan. Sekelebat saat mengembalikan pandangan ke titik semula, bayangan itu telah hilang. Namun anehnya, masih tidak ada suara-suara memekakkan telinga dari makhluk-makhluk yang bertengger di pohon ketapang. Mereka alim, seolah mengenal sosok itu. Namun, makhlui itu tidak juga meneruskan informasi ke telinga Ade bahwa siapa yang mampu menenangkan mereka.

"Siapa di luar?" tanya Ade, hati-hati.

"Saya. Dirga."

Segera Ade mengendurkan otot-otot di wajahnya sebelum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, pertanyaan Ade langsung terbentuk sembari celingukan. "Sama siapa, Pak Dirga?"

Dirga ikut memandang ke arah mata Ade. "Sendirian. Sengaja nggak ajak teman-teman. Ada apa, ya, Pak? Kok ngelihatin halaman terus?"

"Oh, nggak ada apa-apa." Ade menggeleng dan membidik senyum Dirga, tetapi nyaris gagal ketika beradu tatap. Dia tahu ada yang disembunyikan tamunya itu. "Kalau boleh tahu, ada perlu apa?"

"Ada hal penting yang mau saya tanyakan."

"Kok nggak tanya waktu kita ketemu di kantin tadi?"

"Nggak enak sama yang lain. Saya mau tanya langsung ke Pak Ade, tapi yang lain jangan sampai tahu."

"Masalah apa, ya?"

"Boleh saya masuk dulu supaya enak ceritanya?"

"Oh, iya, iya. Silakan masuk." Ade menggeser posisi berdirinya supaya Dirga bisa masuk.

Yang tidak Ade ketahui saat menyuruh tamunya itu masuk, Dirga baru saja mendapat wejangan dari seseorang yang mengenal Ade. Seseorang yang berselisih jalan dengannya di depan pagar rumah Ade. Beruntung orang itu mampu menenangkan makhluk-makhluk penunggu pohon ketapang yang tidak terlalu Dirga sukai. Dia mengira orang itu adalah empunya, meski Dirga tidak mungkin menanyakan hal itu.

Selepas mengobrol sejenak dengannya, Dirga berjanji akan lebih hati-hati di setiap langkahnya. Selain itu, dia ingin memastikan sesuatu di rumah Ade. Untuk mempertebal keyakinannya memilih berdiri di pihak siapa, terutama untuk menyelamatkan teman-teman kosnya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang