Bab 47 : Menuju Tumbang

1.7K 205 8
                                    

Tersadar ada yang berdiri di ambang pintu, Suyitno mendongak. Dari tempatnya bersila, Eti tampak menyeringai. Istrinya itu tidak juga mendekat.

"Ada apa?" tanya pria tua itu bingung.

Seringai Eti berubah jadi kekehan. Suyitno mengernyit, menerka-nerka apa yang terjadi dengan istrinya. Menimbang kelakuan di hadapannya, dia bisa menebak istrinya sedang kerasukan.

"Siapa kamu?!"

Kekehan Eti berubah menjadi tawa, bersaing dengan derai hujan dan guntur di luar sana.

"Apa kau tidak mengenaliku lagi, Yitno? Sungguh?"

Sejenak berpikir, Suyitno merunut sosok tak kasat mata yang belakangan ini bersinggungan dengannya.

"Bagaimana kalau aku meminta nyawamu saja?" Eti menghentikan permainan tebak-tebakannya sendiri.

Siapa lagi kalau bukan Wojogeni? Suyitno membatin.

Eti memperhatikan suaminya komat-kamit membaca rapalan. "Kau baca apa? Mau mengusirku? Tidak mempan, Yitno. Pagarmu sudah rusak. Jadi, berhentilah," ejeknya.

Ketika Eti melangkah mendekat, Suyitno sadar rapalannya benar-benar tidak berguna. Wajahnya pucat pasi. Mendadak, dia tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Suyitno bergeming dalam duduk silanya. Bibir dan tangannya gemetar, takut mendengar kata-kata barusan.

Tumbal?

Suyitno bergidik ngeri membayangkan kepalanya terlepas dari badan.

Dalam jarak teramat dekat, sosok Eti yang mungil terlihat menjulang di hadapannya. Dia lalu membungkuk. Suyitno bisa merasakan napas hangat mengenai pipinya. Dalam diam, istrinya itu memperhatikan perlengkapan upacara penumbalan.

"Kau pikir aku kambing, makan tanaman atau bunga?" Bibir Eti mengerucut. Dia berdecih. "Mana darah ayam alasnya? Kalau tahu akan seperti ini, aku lebih memilih Wiwit yang terus hidup daripada kau."

Suyitno berusaha menggerakan tangannya setelah bisa merasakan jari-jarinya bergerak lamban. Dia berkonsentrasi penuh sembari mengamati Eti yang sudah mengembalikan posisi berdirinya.

Dalam satu kedipan lambat, tangan Suyitno terbebas. Tepat saat itulah, dia meraih mata kaki istrinya dan berniat menekannya kuat-kuat untuk mengusir perasuk sembari membaca rapalan.

Sial, Eti berhasil mengelak.

Begitu Suyitno mendongak karena terkejut, kaki wanita tua itu sudah mendarat di janggutnya. Dukun ilmu hitam itu tersentak, jatuh telentang. Darah merembes dari mulut dan juga hidungnya. Dia merasakan dagu atau tulang hidungnya patah. Sakit luar biasa.

"Kowe iki pancen ndablek (kamu itu memang bebal). Kau pikir aku sebodoh itu?" Eti mengobrak-abrik perlengkapan upacara penumbalan. Dia menendang cawan dan tanah kuburan sampai ke segala penjuru.

"Ampuni saya," pinta Suyitno, memelas.

Kegiatan Eti terhenti. Dia mendekat. Dengan gerakan lambat, dia tumpukan kakinya di pipi Suyitno, kemudian menekannya kuat. Karena kesakitan, badan Suyitno refleks menggelepar. Tangannya mencoba mengangkat kaki Eti, tetapi tenaganya seperti terkuras. Setelah mendapatkan posisi yang tepat, Eti menekan lebih dalam lagi kakinya. Suyitno mengaduh dan merasakan tulang pipinya benar-benar akan remuk.

"Ampun. Saya mohon. Saya belum mau mati," ulang Suyitno kesakitan.

"Hari ini bukan waktu yang tepat untuk meminta ampun. Hari ini aku ingin mengambil hakku. Kau masih ingat dengan janjimu, kan?" Eti berkata dengan intonasi setenang mungkin. Karena itulah, Suyitno membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya selanjutnya. Mati!

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang