Malam ini tidak ada acara kumpul-kumpul di lantai dua. Usai memarkir sepeda motor, mereka langsung menerobos masuk kamar dan kembali menuruni tangga dengan membawa peralatan mandi, kemudian mengantre.
Hal itu memancing kecurigaan Suyitno. Kebetulan pemilik kosnya sedang menyeduh kopi di dapur yang berbatasan dengan ruang tunggu kamar mandi berupa dudukan dari semen, memanjang. Separuh dari tempat itu diletakkan kompor gas dan berbagai peralatan dapur lainnya.
"Sejak kapan kalian mau mandi semalam ini?" tanya Suyitno, kemudian berpikir sejenak. "Jangan-jangan, kalian habis berbuat dosa, ya?" tuduhnya.
"Nggak, Pak," protes Ibnu. "Daripada nanti kita nggak bisa tidur soalnya gatal-gatal, mending mandi tengah malam. Asal nggak mandi kembang, apalagi mandiin kembang desa. Itu yang bahaya. Bisa-bisa diarak keliling kampung," kemudian tertawa, tetapi tidak diikuti oleh teman-temannya hingga tawanya surut. Suyitno bahkan membalas dengan lenguhan.
"Mandinya besok saja soalnya dingin," Suyitno menyarankan sebelum kembali ke rumah induk.
Tiba-tiba tengkuk Ibnu seperti ditiup. Bukan angin, tetapi lebih karena akan masuk kamar mandi setelah Dirga. Sejak kesialan waktu itu, sebenarnya Ibnu enggan lama-lama di kamar mandi. Namun, dia lebih takut melanggar pantangan setelah seharian di luar rumah harus bersih-bersih supaya tidak mendapat gangguan dari yang tidak terlihat, seperti yang pernah Mario alami tempo hari.
"Tunggu sebentar," Dirga menghentikan langkah Ibnu sejenak sebelum masuk ke kamar mandi. "Kamu kemarin pas diketuk pintunya, iseng ketuk pintu dari dalam duluan, nggak? Maksudku, sebelum anak itu ketuk pintu kamar mandi?"
"Aku cuma iseng ketuk-ketuk pintu sambil nyanyi," Ibnu menerangkan dengan alis bertaut. "Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa," balas Dirga santai, lalu menyisip pergi.
"Terus, kenapa bahas ketuk-ketuk pintu kalau jawabannya 'nggak apa-apa'?" Ibnu bertanya ketus.
"Nggak aneh kalau begitu," Dirga menerangkan. "Soalnya kamu duluan yang undang dia buat datang."
Kepala Ibnu mendadak pening.
"Aku nggak paham sama kalimat 'nggak aneh kalau begitu'?"
"Kamu nggak tahu kalau ketuk-ketuk pintu dari dalam adalah salah satu cara buat undang mereka yang nggak terlihat?" Dirga menerangkan.
Ibnu tepekur. Pintu kamar mandi seperti jebakan untuknya sekarang. Dia melangkah penuh keraguan. Sebelum menutup pintu kamar mandi, Ibnu memberi kode kepada yang antre supaya salah satu dari mereka ikut masuk. Balasan gelengan diperolehnya.
"Jangan ketuk dari dalam lagi ya, Nu. Bahaya!" Ganda terkekeh. Dia memperingatkan supaya segera menutup pintu dengan mengebaskan kedua tangannya cepat, antre kembali dengan tertib sembari tersenyum puas.
"Sialan!"
Tawa pecah begitu Ibnu membanting pintu. Kemudian, situasi kembali senyap ketika Suyitno muncul dari dalam rumah, berdeham dan berseru, "Jangan berisik!"
"Iya, Pak," Zainal membalas, mewakili supaya Suyitno kembali ke tempatnya.
"Yang jadi persoalan sekarang adalah kamu bener-benar mau mandi urutan terakhir, Nal?" tukas Ganda iseng, bertanya saat Zainal kembali menatap pintu kamar mandi yang telah menutup, menyesali keputusannya tidak ikut mandi bersama Ibnu.
***
Embusan angin malam dari jendela berteralis dan bertirai tipis membuat Zainal terbangun. Singkapan angin melalui celah terbuka dan gatal sebadan membuatnya terjaga. Zainal merutuki kebodohannya karena memutuskan tidak mandi, lupa menutup jendela, dan kini harus memeluk guling karena keinginan buang air kecil tak terbendung lagi. Dia juga ingat meminum terlalu banyak limun ketika di rumah Ade.
Diliriknya ponsel yang tergeletak di meja sebelum meraih stop kontak, kemudian menyalakan lampu kamar. Zainal mendesah jengkel ketika jarum jam menunjuk angka 12. Dia membuka pintu kamar dan melangkah sembari menjepit pahanya.
Mendadak dia ragu untuk melangkah. Kepala Zainal melongok lebih dulu dari celah pintu kamar, kemudian menangkap remang di ujung tangga. Remang itu berasal dari penerangan di bawah loteng yang menyatu dengan rumah utama.
Dipaksakan langkahnya cepat menuju kamar Ibnu. Dia menoleh ke kanan-kiri sambil mengetuk pintu dan menunggu jawaban. Tidak ada balasan selain dengkur halus ketika Zainal mendekatkan telinganya ke pintu.
Diliriknya sekilas kamar Dirga. Namun karena pertahanannya hampir jebol, Zainal memutuskan berlari menuju tangga samping untuk memelesat ke kamar mandi. Air seninya sudah di ujung dan sebentar lagi mengucur deras jika ditahan beberapa detik saja.
Sejurus kemudian, Zainal menghela napas lega. Dia merasa selamat karena tidak tercecer setetes pun air seni selama perjalanan menyiksa itu.
Zainal sedang membetulkan celana pendeknya ketika matanya berbalik ke arah pintu. Dia mulai merancang pelariannya menuju tangga. Dalam benak, Zainal menyadari kengerian ketika nantinya harus menatap tangga kayu dan sumur tua. Untuk menuju ke sana, dia juga harus memandang ruangan kosong dan seringnya terendus bebauan mirip kembang kenanga. Setelah itu, dia harus meniti anak tangga untuk mencapai koridor kamar kos begitu menjejak tangga teratas.
Tiba-tiba, Zainal teringat kejadian di kamar mandi yang menimpa Ibnu. Berlama-lama di situ juga tidak membantu menenangkan detak jantungnya. Zainal menggeleng cepat. Dengan berat hati, cowok itu membuka pintu kamar mandi dan berjalan cepat.
Begitu bola matanya menangkap temaram rumah induk dan pintu yang masih tertutup rapat, otomatis suasana mencekam memperlihatkan bahwa tidak akan ada pertolongan jika terjadi apa-apa dengannya.
Zainal secepatnya menapaki tangga.
Tepat saat menjejak tangga teratas, dia memelotot mendapati tempat jemuran di samping koridor lantai dua tertiup angin. Sebuah bayangan menampakkan diri seolah menanti kedatangannya.
Hantu jemuran? Otaknya mengurai sekaligus bertanya. Namun, tidak ada jawaban.
Kemudian, Zainal mencoba mengklasifikasikan sosok asing berkaki jenjang dan pucat, sementara tubuh bagian atasnya tersembunyi di balik seprai yang berkibar. Dia bayangkan kegerian makhluk yang sebentar lagi akan menampakkan diri sepenuhnya itu jika seprei tersibak. Sedetik, embusan angin bertiup. Sosok itu menampakkan diri.
Dilanda kepanikan, gigi Zainal gemeretak. Keringat dingin menghiasi dahinya ketika hantu jemuran itu benar-benar tergambar nyata. Aroma anyir menguar saat Zainal berusaha menggerakkan kakinya. Lagi-lagi, seperti terpatri.
Wajah yang tertampil di hadapannya menyerupai mayat. Kelopak matanya seperti susah mengatup. Zainal memandangi sosok itu dengan kesadaran penuh. Dia menebak, hantu jemuran itu berkelamin perempuan. Rambutnya tergerai panjang. Dada telanjangnya membusung terlindungi rambutnya. Kulitnya kisut. Dia pastikan bola matanya berwarna merah darah, memelotot sampai hampir keluar.
Zainal bingung memilih tetap sadar atau pingsan jika sampai sosok itu mendekat. Maka, yang terpikir olehnya sekarang adalah tetap sadar dan berusaha memancing suaranya keluar. Namun, sebongkah batu seperti mengganjal tenggorokannya.
Hantu jemuran kemudian menundukkan kepala, memperhatikan Zainal yang ketakutan. Wajah mereka kini hanya berjarak tidak lebih semeter. Zainal hanya mampu menarik napas panjang, seakan bersiap meninggalkan dunia fana ini.
Ketika jari-jari panjang hantu itu menyentuh dada Zainal, dia hanya teringat panas yang ditimbulkan saat terdorong ke belakang. Kepalanya sontak membentur pinggiran dudukan. Otot yang melekat di tubuh Zainal melemah setelah terjatuh dari tangga kayu dengan suara gedebuk, dan tidak pula membangunkan penghuni kos. Dia memejam setelah menarik napas panjang sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Terror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...