Bab 7 : Desus

4.5K 385 6
                                    

Lalu lalang kendaraan mulai lengang. Pengantar anak-anak sekolah sudah balik ke rumah. Para pekerja telah mengamankan kendaraan mereka. Bahkan, penjual nasi pecel di samping pom bensin mulai beres-beres setelah membungkus sarapan untuk Dirga. Katanya, itu bungkusan terakhir.

Memasuki kawasan mal yang tergabung dengan hotel, Dirga beberapa kali harus mengangguk ketika berselisih jalan dengan petugas keamanan, petugas parkir atau petugas kebersihan. Dia malas membalas sapaan ketika salah satu petugas keamanan memberi hormat. Sebelum-sebelumnya, Dirga pernah mengeluhkan hal ini kepada atasan mereka―Sander, tetapi tidak ada gunanya.

Pintu gerbang menuju parkir rubanah masih dibuka separuh. Baru beberapa langkah masuk, dia terkejut dan mengumpat merasakan tepukan di pundak. Suasana remang parkir rubanah membuat pikirannya ke mana-mana.

Terpaku sebagai tersangka, Ganda nyengir dan mundur selangkah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. "Lama bener berangkat kantornya," protesnya tanpa memberi kesempatan Dirga mengamuk.

Bungkusan nasi pecel teracung. Dirga mengurut dada.

Ganda membalas mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke muka Dirga. "Nggak baca pesanku?" pungkasnya.

"Hp masih di tas."

Sembari memasukkan kembali ponselnya ke saku, mereka berjalan bersisian. Ganda memastikan lebih dulu apakah Dirga sudah bisa didekati atau sebaiknya dihindari.

Lagi-lagi dalam perjalanan menuju kantor Dirga, mereka berselisih jalan dengan petugas keamanan. Dirga memperoleh hormat, Ganda memutar bola matanya.

Selepas petugas keamanan berlalu, Ganda baru buka suara, "Aku kemarin lupa minta surat masuk barang. Manajer areaku kebetulan datang bawa barang, terus nggak boleh masuk ke toko sama keamanan mal soalnya nggak bawa surat. Merong-merong (marah-marah) dia."

Dirga terkekeh. Kesal sebelumnya menguap. Ganda sudah ketularan Ibnu menggunakan bahasa per-bencong-an. Padahal dulu dia yang protes paling keras. Nggak jelas, katanya.

Kantor Dirga berada di rubanah dua. Basement-nya basement. Semisal ada gempa bumi bakalan jadi yang pertama terkubur. Tidak pula ada jalur evakuasi, kecuali tangga naik-turun untuk tamu. Jika dipikir-pikir, kantor Dirga masih mending. Kantor hotel ada di bawah kantornya. Rubanah tiga. Bayangkan bagaimana bentuk mereka kalau sampai benar-benar tergencet beton?

Usai berbelok dari pintu atm dan berjalan lurus sekitar 200 meter, mereka menuruni tangga untuk sampai kantor. Karena jam kantor belum dimulai dan Dirga harus sarapan dulu, mau tidak mau Ganda menunggu di sofa ruang tunggu.

Sembilan kurang seperempat, Dirga mempersilakannya masuk.

Di kantor manajemen mal bernuansa minimalis dengan pipa-pipa besar untuk air bersih dan kotor, ber-AC sentral serta berlantai parkit, Dirga dan Agus tergabung dalam satu divisi. Business & Development. Dalam divisi tersebut, terdapat lagi sub-bagian. Marketing, promotion dan tenancy. Kebetulan, keduanya menjabat sebagai tenancy. Pekerjaan mereka adalah menjadi jembatan antara kebijakan perusahaan dengan keinginan penyewa, begitu pula sebaliknya. Tempat duduk mereka bersebelahan dengan bagian marketing, bersekat. Hal itu lebih karena jenis tamu mereka berbeda. Jika marketing menerima tamu dengan sebutan tenant, wangi, berdandan atau minimal berpakaian sopan, lain halnya dengan Dirga dan Agus. Mereka kebagian tamu kontraktor, tukang fit in atau fit out, penjaga toko, pengantar tabung gas atau galon. Syukur-syukur bau matahari, terkadang bau apak atau tengik, diembus angin AC sentral, modar.

Pagi ini, Dirga masih sendirian di kantor karena Agus sedang berkeliling sebelum mal buka. Dia sedang memeriksa keluhan tenant yang belum tertangani.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang