Hujan di luar awet. Sesekali petir dan guntur bersahutan, menerangi bagian dalam rumah Suyitno seperti lampu tembak.
Empat orang mengendap-endap ke dalam rumah induk. Karena bergantung pada sinar matahari atau lampu, rumah induk terlihat lebih gelap daripada ruangan di lantai dua saat kedua sumber cahaya itu absen. Mereka berhati-hati melangkah, sebab tidak ingin jari kaki terantuk meja ataupun kursi.
Senyap seolah mengiringi langkah mereka menuju ruang tamu.
Ketika mata mulai beradaptasi, Mario memekik melihat seseorang terkapar di lantai. Belum selesai pekikan Mario, pandangan Ganda tertuju pada bayangan lain bersandar di dinding, di dekat lemari. Terlihat beberapa pecahan kaca berserak di lantai ketika petir muncul. Mereka syok dan terduduk lemas, tidak ingin mendapat pengalaman yang sama seperti di lantai dua.
Tampak Eti telentang di lantai. Leher dan bagian perutnya merembes cairan berwarna gelap. Bekasnya seperti meleleh, memanjang dari kamar hingga lantai tempatnya terdiam. Suyitno tengah terpaku, memandang nanar tubuh istrinya, sementara Zainal seperti sedang menikmati jamuan.
"Eti," Suyitno tersedu, memandang istrinya yang terdiam. "Harusnya aku yang mati, bukan kamu," sesalnya. Darah masih merembes dari mulut Suyitno ketika berbicara.
"Pak Dirga, jangan lengah," kata Ade, memotong keheningan.
Dirga mengangguk lambat. Dia mengikuti langkah Ade mendekati Zainal. Tenaga mereka seperti terkuras habis, tetapi dipaksa keadaan untuk mengendalikan situasi yang semakin liar.
Auman Zainal menyelinap, memekakkan telinga. Padahal, segala suara seperti teredam deru air hujan dan tempias. Kemudian, dia menoleh, mengarahkan pandangannya kepada Mario dan Ganda. Mario syok dan gemetaran. Dia mengatur napas dalam-dalam sambil merapal doa, entah benar atau salah karena panik melanda.
Belum sampai langkah Dirga dan Ade mendekat, Zainal berganti memandangi keberadaan Suyitno. Dia bersiap menerkam korban selanjutnya.
Dengan sikap lilin, kedua temannya hanya bisa menganga ketika mengamati Zainal sedang melap mulutnya yang belepotan dengan punggung tangan.
Sekilas, semua orang kesulitan mengenali wajah Zainal saat kilatan petir dari luar menembus ruang tamu, dan mengarah padanya. Mata kiri Zainal bengkak. Pelindung lehernya lepas. Separuh mukanya sampai leher berwarna merah. Napasnya memburu mirip binatang. Giginya gemeretak bagai bertaring.
Tidak ingin kehilangan kesempatan, Dirga dan Ade memelesat bersama gerakan tangkas Zainal mendekati Suyitno. Ade seperti memiliki ilmu meringankan tubuh ketika menendang pinggang Zainal hingga terpelanting dan menumbuk dinding rumah. Terkapar di lantai, Zainal menggeram kesakitan. Dia lalu bangkit. Amarah memenuhi rautnya.
Sempat ragu untuk mendekat, Dirga akhirnya membantu Ade berdiri dan bersiap memasang kuda-kuda. Seperti dikejar setan, Ganda lekas mencapai Suyitno yang berniat merangkak mendekap istrinya. Beruntung, Suyitno tidak berontak ketika Ganda menghentikannya.
"Mar, bantuin!" seru Ganda ketika berhasil mengangkat satu lengan Suyitno. Untung Mario cepat tanggap. Dia membantu Ganda mengamankan bapak kos sembari menghindari pecahan kaca.
Ade dan Dirga bersiap dengan raungan Zainal. Dia mendekat dengan gerakan tangkas. Kali ini, Zainal tidak main-main. Dia menjemput leher Ade dengan mulutnya setelah melompati meja dan menjejak sofa, sementara Dirga terkena tendangannya sampai mencelat. Dua kegiatan dalam satu waktu.
Gelagapan, Ade yang tidak memprediksi serangan segesit itu, menghindari lompatan Zainal dengan gerakan menyamping hingga ambruk. Kesempatan itu tidak Zainal sia-siakan. Dia menerjang Ade. Darah menetes di wajah Ade ketika Zainal mencoba meraih apa pun dengan giginya yang siap mencabik, sementara calon korbannya berusaha mengamankannya dari intaian.
Dirga lekas berdiri untuk membantu. Tendangan Zainal membuatnya limbung dan mengerang kesakitan.
Ketika Zainal tersadar akan ada dua serangan dari arah berbeda, dia memukul kedua telinga Ade sekuat tenaga. Nyawa Ade seperti tercerabut. Kemudian, segera Zainal menangkap tendangan Dirga dan melemparkannya jauh mengenai sofa. Keduanya merasakan kesakitan luar biasa, sementara Zainal seperti tidak habis tenaganya.
Di sisi ujung ruang tengah, di dekat tangga induk, Suyitno telah memperoleh tempat aman untuk bernapas lega. Setelah itu, Ganda berniat mengajak Mario membantu Ade dan Dirga.
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Mario, berpikir realistis sekaligus ngeri melihat sekelebat aksi di hadapan mereka.
"Pokoknya kita bantu."
"Misalnya?"
Ganda memperhatikan sekitar. Saat matanya tertuju kepada guci di rak tivi, petir menyambar sebelum bunyi guntur menggelegar. Keduanya spontan menutup telinga dan mata.
"Kalian sama petir saja takut, bagaimana mau bantu menghadapi orang yang kerasukan? Bisa-bisa kalian mati konyol," Suyitno meremehkan.
Mendadak, keduanya menyesal membantu mengamankan kakek-kakek itu. Mereka ingin mengumpankannya saja ke Zainal.
"Perhatikan," lanjut Suyitno sambil memicing dalam temaram rumahnya sendiri. Dia menunjuk perkelahian yang berlangsung sengit dengan dagunya. "Mereka saja kewalahan, apalagi kalian?"
"Jadi kami harus diam saja di sini?" balas Mario, mewakili Ganda yang malas membuka mulutnya.
Suyitno berdecak. "Kita tunggu kesempatan datang. Begitu dapat, kita hajar."
"Caranya? Kesempatan apa?"
"Kesempatan untuk mengusirnya pergi. Tapi sebelum itu terjadi, aku harus membuat perhitungan dengan yang merasuki Nak Zainal. Siluman harimau brengsek pembunuh istriku."
Mario dan Ganda terdiam. Mereka tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap kehilangan bapak kosnya itu. Dilanda kebingungan menentukan sikap, sesekali petir di luar memperlihatkan keadaan Ade dan Dirga di ruang tamu. Keduanya mengerang kesakitan dan hampir berhasil Zainal lumpuhkan.
Eh, Zainal di mana?
Ganda dan Mario celingukan mencari keberadaan temannya itu ketika petir tak juga muncul.
Baru saja berpikir Zainal kabur, orang yang mereka cari ternyata sedang merangkak menuju tempat ketiganya terdiam dengan gerakan cepat. Ketika Mario dan Ganda merasa tujuan akhir Zainal adalah Suyitno, keduanya spontan bergerak menghindar, ke kiri dan kanan sambil menutup mata.
Jedug... Krak....
Ganda sempat milirik, lalu menutup mulutnya supaya tidak berteriak. Dia menyaksikan gerakan lambat setelah mengembalikan pandangannya kepada Suyitno. Ternyata, tatapan Mario sudah lebih dulu terpaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak menyaksikan kejadian di hadapannya.
Kaki Suyitno masih menjulur. Leher Zainal mengenai tepat tendangannya. Temannya itu terdiam sejenak sebelum terjungkal usai terdengar bunyi seperti patahan. Kepalanya seolah menempel di punggungnya.
Dalam hening, petir menyambar dan sinarnya mengenai tubuh Zainal. Dia tidak bergerak, telentang dengan kepala seolah menghadap Ade dan Dirga.
Seolah waktu berhenti berputar, lima orang membeku. Suyitno menurunkan kakinya perlahan. Dengan perasaan takut, Ganda mendekati Zainal yang terdiam setelah dipanggil beberapa kali tidak menyahut. Perasaannya tak enak. Ganda menempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke batang leher Zainal. Dia menarik tangannya ketika tidak menemukan denyut jantung di sana.
"Seharusnya aku menyiksanya lebih dulu," ucap Suyitno dingin sambil mengamati siluman macan yang kabur menembus dinding rumah.
Suasana duka segera menyelimuti rumah kos Suyitno. Ade dan Dirga berjalan terpincang, berniat mendekat. Mario dan Ganda tersedu lirih, terduduk lemas.
Langkah Dirga dan Ade baru separuh perjalanan ketika seseorang menuruni tangga induk.
"Ibnu sudah sadar?" tanya Mario pelan, dengan suara tersekat dan tangis yang coba ditahan. Ganda berdiri, berniat membantu temannya itu menuruni tangga.
"Sepertinya bukan," balas Suyitno cekat.
Keempat orang lainnya saling melirik.
![](https://img.wattpad.com/cover/297166430-288-k462095.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...