Jetis Lor. Tahun 1967. Malam hari di rumah Wiwit.
40 hari Wiwit melakukan puasa mutih, berlanjut puasa jinten. Selama tiga hari dia wajib tidak makan dan hanya minum, serta menahan diri dari sinar matahari. Dia genapi dengan tapa di Sendang Pengasihan selama tujuh malam dan di hari terakhirnya, dia bertemu penunggu sendang. Roro Kuning. Itu artinya, persyaratannya tuntas.
Sekarang, tinggal mengasah kemampuannya.
Bokor berisi kembang setaman, serutan akar lawang, sekapur sirih beruas kembar dan perasan kantil, ditata di atas meja untuk persembahan. Wiwit bersimpuh. Ade di belakangnya. Mereka duduk sedikit berjauhan.
Sembari terpejam, tangan Wiwit mulai menaburkan bubuk kemenyan dalam prapen, mirip tungku terbuat dari tanah liat dibakar. Asap dari baranya mulai menusuk-nusuk hidung. Mulutnya komat-kamit. Sementara Ade tidak melepas pandangannya dari rapalan Lik-nya. Dia terpikat sekaligus ngeri dalam satu waktu.
Dari dalam saku, Wiwit mengeluarkan kain putih polos. Beberapa helai rambut Suyitno ditalikannya pada salah satu getah damar, dan menindihnya tanpa kuncian.
Sesaat setelah hidungnya mengernyit, dia celup jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam bejana berisi darah ayam alas. Dia angkat perlahan jari bersaput darah ayam, lantas mengoleskannya di tepian getah damar yang sedikit bergerigi. Kemudian, dia celupkan kedua telunjuk kembali ke dalam bejana dan mengoleskannya ke kedua alisnya secara bersamaan.
Belum genap menghitung sampai lima, api dalam dimar ublik tiba-tiba membesar sebelum kembali seperti semula. Wiwit menyeringai, puas.
"Waktu kematianmu telah tiba, Suyitno," desisnya, lalu menggeram tanda rapalannya dimulai. Matanya menutup. Dia berkonsentrasi penuh.
Semua rambut di tubuh Ade berdiri. Dia merasakan hawa dingin menyentak kulitnya. Diedarkannya pandangan ke penjuru rumah. Dia merasa seperti ada yang mengawasi. Loncat-loncat. Terkikik. Meja makan berkeriuk seperti terkena... gempa lokal.
"Konsentrasi, Ade. Jangan sampai mereka menyeretmu ke alamnya," perintah Wiwit. Ade menurut. Dia memejam dan merapal mantra dalam hati. Detak jantungnya menukik, lalu menurun tajam persis jalan di Jetis Lor.
Sesuatu seperti menarik kelopak matanya supaya terbuka. Saat Ade melakukannya, tanpa sadar dia membelalak. Api di depannya membumbung meski tidak sampai menjilati atap rumah. Beberapa makhluk tak kasat mata tengah berpesta, termasuk arwah korban keganasan praktik ilmu hitam Lik-nya. Jumari dan Pakde Sujud ikut hadir. Ade mendengar geraman, termasuk bisikan, tumpang tindih beserta kekehan terdengar jauh.
"Lik Wit...."
Gemepak geblak ing lemah. Tumindak jeruji ing saworo. Loro guno ojo tangi. Jenenge sirah lumpiah. Yen tangi loro'o. Yen loro geblako. Yen geblak mati.
Wiwit mendesah panjang.
Gemepak ono ing awak. Mati lan turuo mergo loro getih. Getih ireng sing mbok pangkon. Getih putih sing mbok suwun. Si jabang bayine Suyitno....
"L-Lik Wit," panggil Ade sekali lagi.
"Ada apa?" Wiwit menggeram. "Kau pikir aku sedang menganggur?"
"Me-mereka ada di sini...."
Mata Wiwit sontak terbuka. Dia menyadari ada yang keliru. Seharusnya, keadaan rumahnya senyap, bukannya sesak.
Seketika bola matanya penuh. Bersamaan dengan pelototan itu, tenggorokannya terasa gatal. Wiwit berdeham untuk mengusirnya sampai terbatuk berkali-kali. Ada sesuatu seperti mendaki dalam perutnya. Garukan di lehernya semakin menjadi-jadi. Kuku tangannya berbekas darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...