Bab 41 : Datang Tanpa Diduga

1.8K 224 28
                                    

Seperti laut, kedalamannya tak selalu tenang. Daratan pun demikian. Ada satu peribahasa, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan merasakan terjatuh juga.

Suyitno mengeluarkan beberapa berkas dari dalam lemari kayu dan memeriksanya, sambil mengingat-ingat sejumlah asetnya. Senyumnya merekah sebelum kekhawatiran menyusul. Mereka berencana secepatnya pindah, sebab warga mulai curiga.

Ketika bunga kopi dan kenanga yang mereka tanam di halaman rumah sebagai penyamaran aroma mistis sudah tidak lagi berguna, beberapa warga kampung juga mulai terganggu dengan kasus yang terendus dan mengarah kepada Suyitno dan istri. Hal itu karena tidak banyaknya penerangan di sekitar rumah. Rumput liar mengambil alih peran, sementara jamur dan lumut berlomba menghias dinding luar yang tampak kusam nan lapuk.

Waktu berjalan.

Mereka takut di saat kecurigaan mengarah, Wojogeni berulah meminta tumbal. Dalam cemas berlebihan, doa mereka cuma satu, semoga rumah lekas laku.

Mungkin karena stres, kenangan buruk menjalar. Ketakutan Suyitno jika sampai Wojogeni lepas, makhluk-makhluk penghuni alam lain akan menggerayanginya, menyatu dengan suara-suara meminta tolong dan memohon ampun yang tak pernah lelah menyambangi. Berita buruknya, beberapa calon pembeli seperti tak berminat lagi setelah kunjungan pertama mereka.

Kenangan betapa susahnya mengumpulkan harta dan harus merelakannya dimiliki orang lain membebani pikiran. Dia ingat kesembronoannya mengorbankan dua warga kampung yang bekerja untuknya. Saroh dan Yuni. Keduanya meninggal tak wajar dengan mata mendelik. Sejak itu, rumor berembus kencang.

Datanglah wanita bernama Ngadirah.

Di satu siang berangin, dia muncul setelah mendengar kabar bahwa rumah besar yang berbeda kecamatan dengannya, dijual dengan harga murah.

Ketika Ngadirah berdiri di halaman rumah Suyitno, dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebagai suruhan, karena Parto paham sepak terjang Ngadirah sebagai orang pintar, jadi dia tahu kenapa dia tertarik dengan rumah itu.

"Tidak salah kalau Kang Darso mau rumah ini. Ngeri bentuknya," kata Ngadirah sambil memandangi rumah di depannya.

"Ya, sebelum Kang Darso akhirnya mati karena tidak tahu apa penyakitnya. Dokter saja angkat tangan. Muntah darah dan isi perutnya keluar," balas Parto santai.

"Jaga mulutmu!"

"Memangnya kenapa?"

"Itu...." Ngadirah menggeleng, tidak berminat menerangkan lebih jauh. "Lupakan saja."

"Tapi...."

Pertanyaan Parto terhenti ketika sang pemilik rumah membukakan pintu dan menyambut kedatangan mereka.

"Silakan masuk, Bu Ngadirah, Pak Parto. Anggap rumah sendiri." Eti yang mengekori suaminya, mempersilakan tamunya masuk. Mereka lalu berjalan bersisian. "Mana cucunya? Kok tidak diajak?"

"Dirga tiba-tiba tidak mau ikut," jawab Ngadirah, sementara Parto memicing mengamati rumah telantar itu.

Di ruang tengah ketika tangan Parto menyentuh guci besar sebagai pajangan, ditiupnya sedikit debu yang menempel pada jarinya. "Kenapa dibiarkan kotor rumahnya?"

Ngadirah membeliak dan menepak pelan lengan Parto. Dia tersenyum, sungkan. "Ndak sopan."

"Nanti pasti kami bersihkan sebelum Bu Ngadirah tempati," tukas Eti. Rahang Suyitno sedikit mengeras.

Ngadirah menghentikan langkahnya. Terpaku. Suyitno dan Eti saling pandang, sementara Parto dibuat merinding dengan kalimat Ngadirah selanjutnya, "Bukan karena ada sesuatu yang suka dengan yang kotor-kotor, kan?"

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang