Bab 1 : Mangga Depan Rumah

29.9K 1K 84
                                    

Andai Ganda tidak ikut stock opname dan men-display product, kemungkinan besar dia tidak akan berjumpa penunggu pohon mangga di halaman depan kos. Mengingat jabatannya sebagai kepala toko, dia harus merelakan jam tidurnya untuk lembur. Jika berani mangkir, perusahaan akan memotong bonus akhir tahunnya. Ilyas, manajer area mengingatkan dengan setengah mengancam saat Ganda menjelaskan keberatannya pulang pagi. Dia beralasan punya asma. Tidak mungkin blak-blakan mengaku takut hantu.

Tersadar jarum jam menggelincir ke angka dua, Ganda mulai waswas setelah keluar toko melalui pintu samping mal. Angin dingin membelai tengkuknya. Bulu kuduknya meremang seketika mengingat kecelakaan lalu lintas beberapa hari lalu. Dalam kecelakaan tersebut, seorang pengendara motor tewas di tempat karena tergilas roda depan mobil yang sedang melintas, sesaat setelah helmnya terlepas.

"Mas," sapa Erna, salah satu anak buahnya di toko mendekat ketika Ganda hendak menyeberang jalan. Keduanya sama-sama enggan lembur. "Lagi nunggu siapa?" tandasnya.

"Kunti!"

Erna terkejut dan menggetok keningnya sendiri. "Amit-amit, jangan ngomong sembarangan, Mas. Jam segini lagi. Pamali."

Tepukan pelan berkali-kali mendarat di bibir Ganda dan memancing kikikan Erna. Rautnya terlihat penuh penyesalan.

"Mas, temenin aku sampai jemputan datang, please? Adikku udah di jalan kok," sambungnya, memohon dengan iba.

"Iya."

Helaan napas Erna sontak menenangkan hati. Paling tidak, untuk saat ini Ganda tidak sendirian. Dia pun urung menyeberang jalan.

Basa-basi pun tercipta guna membunuh sepi. Karena menurut pengamatan keduanya, hari ini jalanan cukup lengang. Hanya satu-dua kendaraan melintas. Sisanya, kesiut angin mendirikan bulu roma.

"Pak Ilyas masih sendirian di toko, apa nggak takut, ya?" pancing Erna setelah basa-basinya habis. "Ntar kalau ada yang nongol dari toilet lantai dasar, kan, ngeri," pungkasnya sembari bersedekap.

"Dia lebih takut bonus akhir tahun hangus daripada ketemu hantu gosong di toilet lantai dasar."

"Mas tahu cerita itu juga?"

Ganda mengangkat telunjuknya di bibir. "Sttt...."

Keduanya membisu.

Tidak berapa lama setelah menoleh ke arah box parkir tiket, Erna sedikit merapatkan jarak. Dari pukul 22.00, lampu mal di belakang mereka sudah mati dan menyisakan beberapa titik pendaran dari dalam area parkir, serta taman. Namun agaknya, tidak terlalu membantu pencahayaan di luar gedung.

"Mas Ganda tahu, kan, kalau―"

"Nggak!"

Erna mendengkus jengkel. "Aku belum selesai ngomong."

"Apaan?" Ganda membalas enggan.

"Kata anak parkir, kemarin malam dia lihat kereta kuda lewat. Mirip kereta kencana tapi nggak napak. Terus, kayak ada gerbang di pintu parkir mal yang kebuka." Erna menunjuk menggunakan kedikkan dagu, tanpa berbalik. "Lalu, ada bau melati menyengat. Yang naik kereta kencana cantik banget. Pakaiannya serba hijau. Dia sempat melirik―"

Dalam keadaan remang, Erna mampu menangkap tatapan bengis Ganda

Erna bergidik membayangkan sendirian di pinggir jalan menunggu jemputan. Terpaksa dia mengunci kembali mulutnya. Namun sebelum melakukan aksinya, dia berhasil meloloskan sebuah kalimat, "Yang jaga parkir pingsan―"

"Aku tinggal pulang, ya!"

"Jangan dong. Iya, iya, maaf. Nggak bakalan cerita horor lagi."

Baru juga detak jantung Ganda terpompa normal, jemputan Erna datang. Itu berarti, dia harus bergegas pulang setelah sepeda motor milik adik Erna melaju.

"Makasih sudah mau nungguin. Dadah, Mas Ganda...." Erna melambaikan tangan. Sebelum berlalu, dia sempat bicara, "Aku baru ingat. Kata anak parkir, jalan kereta kencananya persis di posisi Mas Ganda berdiri sekarang." Dia tertawa sambil memerintah adiknya supaya menjalankan sepeda motornya karena takut dijitak.

Tanpa menunggu lagi, Ganda bergegas menyeberang jalan dengan hati dongkol.

Akan tetapi, siksaan belum berakhir sampai di situ.

Ketika menapaki gang taman bunga, Ganda terpaku memandangi jalanan lengang. Tempat kosnya berada di ujung, dan sebenarnya hanya butuh beberapa menit untuk sampai. Namun, tenaganya seperti habis tersedot. Gang taman bunga terlihat remang. Cat pagarnya merah ndeso, mengelupas dan pudar, dan berubah menakutkan ketika malam.

Langkahnya mengayun cepat, tetapi tidak terlalu membantu meringankan pompaan jantungnya. Dalam remang cenderung gelap jalanan, dia kerahkan usahanya sampai berhasil meraih pagar depan kos, kemudian bergegas mengeluarkan serenceng kunci dari dalam tas dan membukanya secara cepat.

Saat berbalik dan tinggal menggemboknya kembali, aroma ketela bakar menepak hidungnya. Detak jantungnya mengencang. Rasa-rasanya, tidak lagi tersisa tenaga ketika gemerisik daun mengganggu pendengaran. Sesuatu seperti mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk memberi kejutan.

Sembari mengumpat dalam hati, ingatan mengenai cerita-cerita horor berdatangan dan mencoba mengurung logika. Ganda benci hal itu. Apalagi gembok tidak juga menyatu dengan tangkainya. Dia mulai panik seraya mempertajam pandangan. Sesekali, Ganda mengintip melalui celah dari balik bahu, mengawasi setiap ketidakberesan yang mungkin muncul sebentar lagi.

Wus....

"Tadi cuma angin, kan, ya?" Ganda menggumam.

Klik....

Ya, Allah, pertolongan-Mu akhirnya datang juga.

Gembok menutup kembali. Kelegaan terpancar. Namun, suasana tenang hanya berjalan sekian detik, tergantikan ketegangan lain saat kepalanya menengadah, mengarah ke pohon mangga. Sepasang bulatan merah tertangkap olehnya. Ganda membelalak menemukan sosok samar, hitam dan besar, mengawasinya dalam diam. Kemudian suara kikikan samar nan jauh, menyusul.

Jika jarak antara pintu masuk dan pagar besi terpaut cukup jauh, kemungkinan besar dia memilih pingsan. Pilihan lebih masuk akal daripada jantungnya berhenti tiba-tiba.

Namun anehnya, aroma ketela bakar yang tercium sebelumnya, menguar menjauhi penciumannya, tetapi tetap membuatnya ketakutan setengah mati.

Ganda mencoba berlari sekuat tenaga ketika sadar kakinya tak lagi longgar. Hampir saja dia menubruk pintu samping kos yang terhubung langsung dengan tempat parkir sepeda motor dan berbatasan dengan tembok dapur.

Tepat di bawah loteng, Ganda bergegas menuju lantai dua menggunakan tangga samping. Kalau saja pintu luar yang biasa digerendel dan berpalang kayu tak terganjal alas kaki, kemungkinan dia akan terpelanting jatuh ketika menghambur. Hal yang jarang terjadi berhasil membantunya kabur.

"Genderuwo brengsek," umpatnya setelah sampai di depan pintu kamar. Serenceng kunci terjatuh ketika Ganda cepat-cepat memasukkan anak kunci. Di saat menunduk untuk meraihnya, dia melihat sepasang mata mengintip dari tangga samping yang dilewatinya barusan.

"Pait... pait... pait...."

Dia lalu tak sadarkan diri ketika aroma tipis ketela bakar membelai penciumannya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang