Bab 43 : Kuncian

1.7K 215 12
                                    

Gadingasri. Tahun 2021.

Tinggal satu kali Banaspati menemukan jalan. Namun sebelum itu terjadi, Ade ingin berkunjung ke rumah itu untuk memeriksa situasi. Kesempatan itu datang ketika Dirga dan Mario mempersilakannya masuk.

Sore itu, Ade berkunjung sebagai seseorang yang sedang mencari tempat kos. Untungnya, Dirga dan Mario sama-sama off.

Agenda mereka selanjutnya adalah mempertemukannya dengan pemilik kos untuk bertanya-tanya mengenai kamar kosong, tanpa perlu menimbulkan kecurigaan.

Berbasa-basi sejenak, pemilik kos menyarankan untuk melihat-lihat dulu kamar kosong yang ada di lantai dua, di sebelah kamar Mario. Kamar yang telah lama tidak berpenghuni itu segera mendirikan bulu kuduk saat pintunya berderik.

Baru kali ini Dirga memiliki kesempatan melihat kamar kos yang telah lama kosong itu. Ada lemari terbuka separuh dan seprei yang tampak baru digunakan tidur seseorang. Aroma apak berkelindan dengan bau tipis-tipis anyir.

Kejanggalan mengitari benak Ade dan Dirga setelah Suyitno menutup kembali pintu kamar.

Sembari duduk di ruang tamu lantai dua, Suyitno bercerita mengenai sejarah singkat tempat tinggalnya. Mengenai pekerjaannya. Mengenai telah berapa lama mereka tinggal, termasuk bagaimana Suyitno sampai bisa membuka kos-kosan. Eti tidak ikut mengantar. Jadi, mereka hanya bertegur sapa sebentar.

"Kalau boleh tahu, Nak Ade kerja di mana?" tanya Suyitno setelah mengikuti obrolan mereka yang sudah dimulai beberapa menit yang lalu ketika dia pamit ke bawah dan kembali membawa sepiring pisang goreng madu untuk suguhan.

"Maaf, merepotkan. Saya jadi sungkan kalau disambut begini," kata Ade, rikuh.

"Jangan sungkan begitu, Nak Ade. Malahan saya yang minta bantuannya buat makan pisang goreng madu ini. Mumpung istri saya dapat pisangnya sudah masak dan banyak." Suyitno tertawa kecil guna mengusir rasa sungkan. "Mari, silakan diicip."

"Terima kasih," jawab ketiganya kompak.

Semua tangan terarah ke sepiring pisang goreng madu. Mario mengangguk-angguk menikmati betapa nikmatnya mendapat camilan gratis.

"Kebetulan saya kerja di mal, Pak. Sama seperti Pak Dirga. Cuma beda bagian saja. Saya bagian kebersihan, sementara Pak Dirga bos saya," canda Ade sambil mengunyah pisang goreng. Dirga tersenyum kecut.

"Kira-kira, Nak Ade berminat dengan kamarnya?" tukas Suyitno. "Nanti kalau ditanya istri, saya ada jawabannya."

"Kasih saya waktu ya, Pak. Besok saya kabari. Kalau nggak sempat main ke sini, saya pasti pesan ke Pak Dirga biar bisa kasih tahu bapak," jawab Ade, tak lupa mengulum senyum.

Deham Suyitno terdengar. Beberapa gelas teh hangat menyusul. Dirga membantu mengambilnya ke bawah setelah mendengar permintaan tolong dari Eti.

Karena sungkan, Ade memutus keheningan. "Memangnya kamar yang buat saya nanti, sudah berapa lama kosongnya, Pak?"

"Belum sampai setengah tahun. Tapi sampean tenang saja, nanti kami bersihkan lagi sebelum Nak Ade pindah ke sini. Kami sapu, ganti sprei, dan kasih pewangi ruangan. Biar nggak bau."

Ade manggut-manggut. Sebentuk pertanyaan berkelebat di kepala Dirga, sementara Mario masih sibuk mengunyah pisang goreng madu dan menyesap teh hangatnya.

"Bukannya sudah lama, ya, Pak, kamar yang di sebelah itu kosong?" Mario menyahut dan mengejutkan semua orang.

"Mungkin Mas Mario salah ingat. Yang kos di kamar itu baru keluar enam bulan lalu waktu Mas Mario pulang kampung. Orangnya melarikan diri dan nggak bayar uang kos," Suyitno berkilah. Dirga tidak berani menyanggah, sedangkan Ade hanya mengerutkan dahi. "Mari, dimakan dulu pisang gorengnya," Suyitno mencoba mengalihkan perhatian dengan mempersilakan tamunya melanjutkan makan dan minum suguhan.

"Bukan meninggal dunia, Pak? Bunuh diri?" kata Mario lagi, seperti ingin menantang pemilik kos. Tidak ada lagi senyuman di bibir Suyitno ketika mendengarnya.

"Meninggal dunia?" Dirga mengulangi perkataan Mario. Entah kenapa, dia ikutan penasaran.

Pandangan Suyitno beralih ke Dirga. "Berarti saya yang lupa. Yang minggat bukan dari kamar di pojok itu." Dia tergelak, kaku. "Ya, saya baru ingat. Anaknya bukan bunuh diri, tapi meninggal dunia karena sesak napas. Memang dia punya gangguan pernapasan. Kalau ingat kejadian itu, saya jadi kasihan. Kebetulan dia tulang punggung keluarga."

"Namanya siapa, Pak?" Dirga bertanya. Kali ini, Mario merasa aneh. Tidak biasanya teman satu kosnya itu banyak bicara, apalagi banyak tanya.

"Seingat saya namanya... Andika," jawab Suyitno ragu-ragu. Dia menunjukkan tatapan tidak ingin ditanya-tanya lagi kepada kedua orang itu.

Tepat saat Suyitno membalas pertanyaan Dirga, lirikan Ade terarah kepada kamar kosong yang ada di hadapannya.

Dari dalam kamar, terdengar bunyi pintu lemari menutup. Hal itu mengundang perhatian Dirga, karena sepertinya memang ada yang janggal dengan kamar kosong itu. Apalagi beberapa lama Ade menatap pintu kamar tanpa berkedip. Untung ada suara tangga terinjak dari luar ruang tivi, ketika seseorang berjalan ke arah ruang tamu. Untuk sementara waktu mereka bisa bernapas lega.

Ternyata, Zainal yang melangkah tanpa memandang sekitar.

"Nal, ke sini dulu. Ada Pak Ade habis lihat-lihat kamar kosong. Siapa tahu cocok, terus kos sama kita," Mario menyapa Zainal yang melewati ruang tivi dengan mengangguk kecil. Dirga dan Ade sempat mendengkus, berharap penyamaran ini tidak ketahuan karena mulut ember Mario.

Tidak ada jawaban lain selain suara pintu kamar menutup kembali, setelah tubuh Zainal raib dihujani pandangan orang-orang. Mario merengut mendapat perlakuan seperti itu.

"Kesambet, atau efek jatuh kemarin itu baru muncul," balas Mario cengengesan, lebih untuk menutupi rasa malunya.

"Betul kata Mas Mario. Saya juga merasakannya. Teman Mas sepertinya kesambet," timpal Ade.

Ketiga orang lainnya langsung menatap Ade. Dia mungkin juga lupa kalau saat ini tidak boleh menunjukkan jati diri jika bisa melihat hantu. Terutama saat merasakan sosok yang menempati kamar kosong itu, raib. Tinggal aroma anyir menepak penciuman, bersama menutupnya pintu kamar Zainal tadinya.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang