Ibnu meniti turun tangga induk dengan menatap penuh ejek. Dia tidak menyadari wajah memarnya sendiri. Sementara orang-orang yang sedang menunggunya turun, kelelahan seolah habis tawuran 24 jam nonstop.
Begitu kaki menyentuh anak tangga terbawah, Ibnu mulai bicara, "Padahal belum acara puncak. Lihat itu," telunjuknya terulur bersama kilatan petir dari luar, "Masih banyak yang antre."
Mario dan Ganda melihat banyak bayangan di luar rumah, berjubel di depan pintu berkaca separuh.
"Siapa yang merasuki Ibnu?" tanya Mario, entah kepada siapa.
"Wojogeni," balas Suyitno.
"Terima kasih telah memperkenalkanku, tapi aku tetap menagih janjimu," timpal Ibnu.
"Janji apa?" Ganda kebingungan.
"Nyawaku," Suyitno menjawab dengan tenang. Ganda dan Mario meneguk ludah.
"Dan kau," tunjuk Ibnu kepada Ade. "Terima kasih telah merusak pagar rumah ini," tawanya membahana. "Kalian semua bodoh, berjalan tidak pakai otak dan akhirnya terdampar di sini, bersamaku. Bisa-bisanya menganggap kami ini mainan yang bisa dipanggil atau diusir seenaknya. Terutama kau!"
Semua mata tertuju kepada Dirga saat telunjuk Ibnu terjulur padanya.
"Jadi, jangan salahkan kalau caraku membalas dendam seperti ini," imbuh Ibnu.
"Apa maumu?" tantang Ade. "Kamu nggak lebih dari dedemit sampah."
"Bukannya kau juga menginginkan dedemit sampah sepertiku ini dengan mengorbankan banyak orang?" Pandangan Ibnu menyisir wajah semua orang. Sesekali petir menyambar. Hujan belum reda.
"Kalian semua sebenarnya sama. Ada yang sombong, ada yang serakah. Orang-orang seperti kalian pantas kuseret ke neraka."
Mario menghadap pintu. Dia berniat kabur.
"Tidak ada pamit paling pantas untuk pendosa macam kalian," Ibnu menuntaskan kalimatnya.
Perasaan Dirga mendadak tak enak. Rumah terasa sesak. Sejak tadi, dia mengucap rapalan dalam hati untuk mengusir makhluk tak kasat mata. Namun mengingat jumlahnya, selain kelelahan, dia juga tidak bisa mengusir semuanya. Termasuk, mengusir Wojogeni yang seperti dibentengi prajurit nerakanya.
Ade yang berdiri di sebelah Dirga, gemetar seperti menahan kesakitan. Ketika Dirga meraih tangannya, dia tersentak. Panas menjalar. Saat menoleh, Dirga menyaksikan belasan sosok tak kasat mata mencoba merasuki Ade.
Argh....
Teriakan Mario membuyarkan konsentrasi Dirga.
Di dekat tangga induk, Suyitno yang sebelumnya tampak lemah, menekan leher Ganda dan Mario tinggi-tinggi. Tendangan dan cakaran di lengan Suyitno tak berhasil menghentikannya.
Dirga merasa perlu turun tangan meski dia melihat belasan sosok tak kasat mata antre merasuki Suyitno, Mario dan Ganda.
Tiba-tiba, teriakan Suyitno membahana. Tangannya dipuntir kuat-kuat oleh Ganda dan Mario. Ketiga orang itu mulai bertarung sengit. Mereka saling memukul, saling membanting, saling menendang. Ibnu tergelak menyaksikannya.
Tanpa Dirga sadari, cengkeraman Ade mendarat di bahunya. Dia terpelanting dalam sekali angkat. Teriakan Ade bergema bercampur deru hujan, petir, dan guntur.
Sepanjang menghindari perkelahian dengan Ade, Dirga mencoba mengusir satu demi satu arwah atau jin yang mulai merasuki tubuhnya. Di sisi lain, dia tidak bisa menghindari tendangan, pukulan, atau bantingan Ade.
Bruak....
Satu korban tumbang.
Kepala Mario terarah ke layar tivi. Dari ekor matanya, Dirga bisa melihat temannya itu tidak bergerak. Tidak berapa lama, pintu depan menjadi sasaran Suyitno. Dengan menggunakan punggung Ganda, dia melemparkannya kuat-kuat dan berhasil menjebol pintu rumah berbentuk kupu tarung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...