Bab 36 : Remah Pertama

1.8K 228 14
                                    

Lembah Pujon. Tahun 2019.

Sesekali Dirga bepergian keluar kota. Dia mengunjungi Surabaya, Madura, Probolinggo, dan Malang. Dari sebanyak itu tempat, belum ada jejak tertangkap. Dia tidak menyangka untuk mendapat sebuah penampakan membutuhkan waktu dan tenaga se-ekstra itu.

Di satu waktu, melalui Lembah Pujon yang terjal, kelokan demi kelokan bersisian dengan jurang membuat tubuhnya seringan kapas. Perasaannya tak enak. Baru kali ini dia memijit kepalanya karena serangan sakit kepala tak tertahankan, ketika tracking bersama teman-teman diploma-nya. Selain pusing sedari tiba di pemberhentian sementara, dia terus membaui sesuatu yang asing, yang terus mengekori rombongan yang berniat bermalam di sana. Aroma lumatan adas.

"Kalau pusing, biasanya aku minum Tolak Lesus. Kebetulan aku bawa. Mau?" tawar Emprit, nama panggilan salah satu teman Dirga yang berbadan bongsor, tetapi staminanya setara kuda pacu.

"Ada obat tolak miskin, nggak?" canda Dirga, lalu mengernyit merasakan serangan itu lagi.

Tepakan di lengan Dirga terasa seperti pukulan, sampai sempoyongan menyeimbangkan diri. Dia lupa dengan siapa bercanda. Untungnya, Emprit tidak tersinggung ketika mereka melanjutkan tracking. Dia tidak bisa membayangkan, setara apakah bogem mentah milik temannya itu jika melayang. Mungkin bisa sampai terperosok jurang.

Medan tracking di Lembah Pujon tidak seterjal lembah-lembah gunung lainnya. Jadi, sore hari menjelang magrib, mereka sudah tiba di tempat tujuan, di sebuah lahan tak terlalu luas, diapit pepohonan dan perdu. Karena kelelahan setelah mendirikan tenda dan makan malam, Dirga dan rombongan langsung mencari tempat rebahan. Tanpa api unggun, apalagi jerit malam, dinginnya lembah jelas membuat mata mereka seperti dipulut. Semuanya kompak meringkuk di dalam tenda.

Di sela tidur dan terjaga, bebauan aneh yang dirasakan Dirga mendekat dengan gerakan cepat. Kemudian, segaris cahaya terbentuk ketika yang lain tengah tertidur pulas di dalam tenda yang sama. Dirga terbangun. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di luar tenda, sendirian.

"Siapa kamu?" tanya Dirga terkejut, mendapati sinar benderang yang tiba-tiba meledak, memunculkan sosok asing dari kepulan asap yang ditimbulkannya.

"Aku Ki Baurekso. Penunggu Lembah Pujon. Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya si penunggu hutan bersuara menggelegar ketika memperkenalkan diri.

Sosoknya seperti kakek-kakek dengan tubuh menapak di udara, berikat kepala dengan rambut panjang menjuntai sebahu, serta baju hitam motif lurik yang tidak dapat Dirga kenali dari mana asalnya. Tentu saja dia berkata dengan nada mengancam saat kelam menuruni Lembah Pujon. Dirga gemetaran memandangi sekitar.

"Kami izin istirahat sebentar di sini, Ki. Tidak berniat mengganggu siapa-siapa. Kami akan berlaku sopan dan tidak akan macam-macam sampai pagi nanti, dan kami mohon bisa pulang dari sini dengan selamat." Dirga mancoba membujuk, "Maaf kalau kami tidak permisi dulu sama Ki Baurekso."

"Auramu kenapa berbeda?"

Dirga membisu. Dia memutuskan lebih baik menunggu penjelasan selanjutnya dari sosok itu. Sebab, yang terdengar sekarang sedikit aneh di telinganya. Apa tadi sebutannya? Aura?

"Pantas saja dia bilang padaku kalau ada yang auranya berbeda dengan manusia kebanyakan beraroma anyir, sebaiknya aku tidak menanggapi, tetapi kenapa auramu seperti mengundangku untuk datang?" Ki Baurekso masih memamerkan wajah bengisnya. "Sekarang jawab pertanyaanku, sebenarnya ada perlu apa kamu ke sini?"

"Siapa yang bilang seperti itu sama, Ki?" Dirga tidak menjawab pertanyaan Ki Baurekso, melainkan bertanya balik.

Ada jengah di wajah Ki Baurekso yang berkerut dan sedikit mengendur di daerah bibir ketika dia membuka mulutnya kembali, "Makhluk yang aku tidak tahu namanya, selain aromanya yang khas. Dia berkata padaku bahwa kamu pasti datang. Kalau kamu datang, sebaiknya aku tidak berkata apa-apa."

"Bau kesturi?"

Makhluk itu mengangguk samar dan menghilang setelahnya. Seolah, sosok itu hadir membawa remah-remah pesan kepadanya untuk mencari sesuatu yang belum jelas dan terkadang membawanya sampai menembus alam lain.

"Ki, jangan pergi dulu. Saya belum selesai bicara," Dirga terbangun dari tidurnya dengan berpeluh, setelah pipinya ditampar beberapa kali oleh Emprit untuk menyadarkannya.

"Ngelindur (mengigau). Bikin orang jantungan saja!" seru Emprit setelah berhasil menenangkan Dirga. Pipinya terasa panas. Bahkan, telapak tangan Emprit masih membekas.

"Sepertinya posisinya nggak terlalu jauh dari sini. Jadi, dia benar-benar ada? Makhluk itu pernah ke sini," gumamnya ketika menekuri untaian gelap malam di luar tenda, dengan suara-suara binatang malam menyeringai dari balik kelamnya. Dirga bergidik ngeri.

Setelah mendapat secuil informasi dari Ki Baurekso, sakit kepala Dirga raib. Namun, berita buruknya adalah dia tidak mampu lagi terpejam. Benaknya bergerak liar memilin satu demi satu informasi. Kemudian, ada pertanyaan lain yang mengganjal dalam benaknya.

Kenapa dia harus ke arah timur?

- - -

Gadingasri. Tahun 2020.

Informasi mengenai keberadaan makhluk itu membawa Dirga menjelajahi kota Batu. Dia belum menemukan apa-apa selama tinggal beberapa bulan dengan menjadi dishwasher di salah satu hotel berbintang.

Namun seperti jodoh, sesuatu yang dicari terkadang mendekat dengan sendirinya.

Di satu pagi, Dirga bertemu salah satu penunggu wit asem (pohon asam jawa) di jalanan Klojen ketika ingin rehat dan menjelajahi kota sebelah. Makhluk seperti monyet itu bersedia berbagi informasi janggal padanya. Padahal, Dirga tidak berniat mengobrol.

Menurut makhluk mirip monyet itu, ada yang celetukan bahwa seseorang akan mampu menarikmu mendekat, memikatmu, sekaligus mengusirmu. Saat penunggu wit asem menerangkan mengenai ucapannya itu, makhluk tersebut terus menunjukkan cakar dan juga taringnya. Dia seperti ingin menggaruknya sampai mampus, tetapi takut terkena balasan.

"Pergi kamu!" seru Dirga.

Beberapa orang yang lewat memandanginya dengan wajah penuh tanya. Dirga lupa bahwa tidak ada yang mampu melihat makhluk menyeramkan itu, selain dirinya. Dengan gerakan secepat kilat, dia beringsut dari tempat itu.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang