Dirga menyusul keberadaan Sander yang sudah lebih dulu mengambil saf untuk salat jenazah, sementara pihak perempuan mendengarkan orang mengaji di selasar rumah.
Kiai setempat didaulat memimpin jalannya salat jenazah. Setelah salam dan berdoa, dia menyuruh makmum untuk mengangkat keranda jenazah. Sander yang merasa menjadi perwakilan manajemen, ikut mengangkat bagian depan keranda. Wajahnya tersiksa. Urat-uratnya menyembul.
Bersama bubarnya orang-orang usai salat, Dirga menemukan arwah Irul berdiri di pojok ruangan. Dia menatap ke satu arah dengan raut wajah belum ikhlas, serupa arwah-arwah lain. Seketika dia tersadar Irul sudah mengenakan baju kebesarannya. Berbalut kain kafan, bertali di kedua ujungnya.
Ketika mengembalikan pandangan ke keranda, Dirga menangkap Ade mengangguk padanya. Dia lupa tidak boleh menarik perhatian, terutama pria itu.
Orang-orang mulai bergerak cepat. Arwah Irul melayang mengikuti keranda. Sanak keluarga yang mengenal Irul mengitari bawah keranda sebelum dipikul menuju makam. Katanya, untuk meminta maaf sekaligus melapangkan peristirahatan terakhirnya.
Enam pasang kaki penandu keranda berganti-gantian layaknya estafet. Lantaran pelayat Irul cukup banyak, jadi letak pekuburan yang terpaut jauh dari rumah tidak jadi masalah.
Di baris depan dengan langkah cepat, salah satu kerabat Irul membawa ember berisi beras kuning bersumba kunyit, uang logam, dan disebar di kiri-kanan jalan. Hal itu diibaratkan sebagai amal terakhir jenazah. Persis di belakang keranda, kerabat lain membawa sepiring nasi gurih, lengkap dengan ayam panggang dan urap dalam tumbu, bersama pisang sesisir dan air dalam kendi. Endah diserahi tugas membawa bunga tabur. Melalui jalanan bergelombang, penandu keranda hampir terpelecok.
Tak lama, mereka tiba di pekuburan dengan tampilan cukup menyeramkan. Gapuranya hampir roboh dengan cat mengelupas di sana-sini. Tidak ada pagar membentang, polos, dengan rimbun tanaman ekor jago, kamboja, berseru pohon kecapi di tengah-tengahnya. Tak apalah, bukan itu yang Dirga risaukan. Setiap kali datang anggota baru di pekuburan, penghuni lama akan bangun seolah menyambut. Saat itulah, dia mempersiapkan mentalnya. Rupa mereka tidak semuanya utuh. Ada yang wajah dan kain kafannya compang-camping. Ada pula yang tersenyum.
Berhasil melewati banyak nisan, liang lahad Irul terlihat. Tanah bekas cangkulan berukuran 2,5x1,5 meter berlaku seperti sekat untuk mengakhiri hidupnya di dunia sebelum nanti dibangkitkan. Arwah Irul mendadak kaku. Wajahnya ingin berpaling, tetapi tidak bisa.
Prosesi pemakaman berlangsung setelah penutup keranda dilepas. Tidak ada lagi tangis setelah jenazah dikeluarkan dari keranda dan disemayamkan. Setelah ikamah, lubang kembali diuruk. Kesedihan terlihat di wajah Irul. Dia dekati tempat peristirahatannya, berselonjor, menghadap ke arah barat. Dihidunya kembang tabur dan menyemai doa yang dipanjatkan untuknya.
Kemudian, dipandanginya ayam bakar dan sepiring nasi urap, bersanding dengan kendi air dan sesisir pisang di hadapan nisan. Irul merasa tidak sanggup menikmatinya. Kesedihannya terlalu sesak. Dia hanya memandangi para pelayat, lalu keruh di wajahnya kembali hadir.
Selepas prosesi pemakaman, satu persatu pelayat meninggalkan makam. Arwah lain kembali tidur, sebagian melanjutkan siksaan.
Tujuh langkah ketika Dirga meninggalkan makam, dia mendengar seruan. Semakin lama, lengkingannya menyayat.
"Tolooong...."
Dirga bergegas meninggalkan pekuburan. Ade menyusul, berjalan bersisian dengannya. Mereka sempat beradu tatap. Pandangannya masih saja membuat Dirga canggung, sekaligus jeri.
***
Di halaman rumah Irul, beberapa kendaraan terparkir rapi. Pelayat masih berdatangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tusuk Sate
Horror[Pemenang The Wattys 2023] Para penghuni menyebut satu rumah kos bertingkat yang berada di ujung jalan, dengan pohon mangga rindang berpenunggu dan pagar besi berderit sewaktu digeser sebagai Rumah Tusuk Sate. Ganda, Zainal, Ibnu, dan Mario mulai m...