Bab 8 : Perasan

3.7K 375 15
                                    

Ponsel Ganda hampir tergelincir membaca pesan Dirga. Bukan. Bukan karena balasan Dirga, tetapi murni terkejut karena tepukan di pundak saat asyik chating dan bersantai di gudang.

Ganda mendongak sambil mengumpat, "Setan, kalau jantungan terus mati, aku hantui seumur hidup."

"Yeee... siapa suruh ngelamun," Erna menyusul duduk selonjoran di sebelahnya. "Saran nih, Mas. Jangan suka ngelamun. Repot kalau kerasukan."

"Kerasukan lo."

Erna terkikik. "Gaya, pakai lo-gue. Kalaupun kerasukan gue yang baik hati ini, tenang aja, ada Pak Ade."

"Siapa Pak Ade?"

"Itu, foreman cleaning service. Yang pakai seragam biru, bukan yang hijau. Yang bawa HT."

"Bisa apa dia?"

"Mas nggak tahu? Dia itu semacam kuncen. Pak Ade udah lama kerja di sini, jauh sebelum mal ini buka. Istilahnya, yang babat alas. Jadi dia kenal penunggu mal, termasuk yang ada di toilet lantai dasar. Bisalah dimintai tolong kalau ada yang kesurupan."

"Kamu percaya begituan?"

"Gusti Allah nyiptain dunia seisinya. Lengkap. Termasuk mereka juga."

"Setan, maksudmu?"

"Jin."

"K-Pop, dong?"

"Argh...."

Jika Erna sampai menggeram, itu artinya Ganda harus segera melarikan diri. Sialnya, dia kalah langkah. Ganda masih terpingkal ketika Erna berhasil membekuknya. Serangan Erna membabi buta. Lengannya sudah seperti samsak, membiru lebam terkena cubitan, dan Erna baru berhenti setelah Ganda meminta ampun.

Seraya mengusap lengan, Ganda berdecak sambil menunjuk-nunjuk muka Erna. "Kekerasan dalam pertemanan. Aku laporin ke komnas perempuan."

"Bodo amat."

Sesekali melanjutkan aksinya, napas Erna kian memburu. Ketika benar-benar berhenti mencubit, Erna memalingkan wajahnya ke tumpukan barang gudang. Ganda terdiam. Bahu Erna naik-turun. Dia menangis. Dalam hati, dia ingin meraih pundak Erna dan meremasnya pelan untuk menenangkan. Namun, tidak jadi melakukannya karena akan tampak ganjil.

"Nangis, Er?"

"Nggak. Ketawa."

Biasanya Ganda refleks terbahak, tetapi kali ini memilih diam dan menunggu Erna tenang atau meninggalkannya sendirian.

Karena terlalu lama mendengar sesenggukan, Ganda memilih memberi ruang. Dia berdiri, berniat keluar dari gudang. "Take your time, tapi jangan lama-lama. Kita ini kerja, cari duit."

Reality bites you.

"Mas Ganda." Erna berhasil meraih tangan Ganda sebelum pergi, lalu menepuk lantai di sebelahnya untuk mempersilakannya duduk kembali. Ganda menurut. "Maaf." Celak-nya ikut meleleh mengikuti usapan tangannya sembarangan. "Yang tadi itu sakit?"

Ganda setengah mati menahan tawa melihat wajah cemong Erna. "Sakit, lah. Coba aku tinju sama cubit lenganmu. Kalau nggak sakit, aku kasih duit segepok."

"Masalahnya, ada duitnya, nggak?" ejek Erna.

"Nantangin?!"

Erna meringis dan memasang tampang tidak berdosa. "Maaf," dia meloloskan kata itu lagi. Ganda mengangguk kecil.

"Kalau mau cerita, cerita aja. Kalau nggak bisa bantu, se-nggaknya aku bisa jadi pendengar yang baik." Ganda berusaha memecahkan masalah yang menimpa anak buahnya, apa pun itu.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang