Bab 2 : Dongeng Kala Senja

10.8K 611 31
                                    

Melalui grup WhatsApp, beberapa hari kemudian penghuni kos berkumpul sepulang kerja. Wajah mereka tegang sebelum ada yang bicara, kecuali Dirga.

Ganda mengumpulkan mereka di ruang tivi lantai dua yang berbatasan langsung dengan tangga induk. Ruang tivi sekaligus ruang tamu berhias kursi panjang disediakan pemilik kos untuk menerima tamu karena larangan membawa siapa pun ke kamar. Suasananya sedikit mencekam karena lampu mulai meredup dan sebentar lagi modar. Mereka terkadang menggunakan ruangan kecil itu sebagai tempat curhat, mulai dari atasan, teman, pacar, mantan pacar, dan sekarang cerita horor.

"Kapan kejadiannya?" potong Mario sembari mengerjap.

Ganda mengeja, "Ti-ga ha-ri la-lu," kemudian mengedarkan pandangan sambil menyeringai. Tiga orang lainnya mengangguk. Ibnu melongo.

"Udah," Ibnu memprotes. "Nanti aku nggak bisa tidur." Dia merengek sambil menutup telinga dengan satu tangan dan tangan lainnya berusaha menutup mulut Ganda. Namun sial, protesnya berakhir tangkisan. "Kalau nanti nggak ada yang mau nampung aku tidur, mending stop cerita horornya. Tapi kalau maksa juga, siap-siap aku teror." Ditunjuknya hidung Ganda, "terutama kamu!"

"Kok aku? Tadi kan semua sepakat. Lagi pula tukang ngorok kayak kamu nggak mungkin nggak bisa tidur." Ganda menoyor kepala Ibnu. "Mumpung seru nih, Nu. Formasi juga lengkap. Kapan lagi bisa cerita horor," tukasnya dengan senyum lebar, sementara Ibnu bergidik ngeri.

Ganda berniat melanjutkan cerita dengan mengedarkan pandangan untuk memperoleh dukungan. Dirga, Zainal dan Mario menyengguk, sementara Ibnu memasang tampang memelas menggunakan mata teduhnya. Niatnya, supaya yang lain tergerak menentang niatan Ganda, tetapi usahanya menemui kegagalan. Minat mendengar lebih besar.

"Jadi beneran pohon itu ada penunggunya?" Mario membuka obrolan kembali, "Pantas nggak pernah ada buahnya."

Dirga tak mampu menahan cengiran. "Memangnya mereka hama?"

Mario mengedikkan bahu.

"Padahal kalau pagi aku sering duduk di situ. Waktu libur atau shift dua. Seingatku nggak pernah diganggu, kok. Apa mereka males, ya?" timpal Zainal sambil terkekeh.

"Ngapain kamu duduk-duduk di situ?" protes Ibnu. "Kurang kerjaan. Selain ada penunggunya, siapa tahu ada ulat bulu. Kan, ngeri."

"Nggak ada ulat bulu, ah." Zainal tidak terima. "Lagian, masa cowok takut sama ulat bulu? Takut itu sama Allah."

"Alhamdulillah, Ya Allah. Umatmu ada yang tobat," ledek Ibnu sambil menengadah sarkas, ditimpali tawa yang lain.

"Terus, kenapa duduk-duduk di situ disebut 'kurang kerjaan'? Kamu nggak tahu kalau di situ sinyalnya kenceng. Coba aja kalau nggak percaya," Zainal berhenti sejenak, menelaah ucapannya sendiri. "Tapi kalau dengar cerita barusan, nggak bakalan lagi aku mau duduk-duduk di situ. Apalagi sendirian. Bisa ketemu beneran sama si anu. Amit-amit."

Alis Mario menyatu. "Bisa jadi karena bantuan penunggu pohon, sinyal di situ makin kuat. Aku pernah dengar kalau mereka bisa memancarkan sinyal-sinyal aneh dan kadang nggak kebaca sama manusia. Semacam penguat sinyal."

"Teori siapa itu?" tanya Dirga datar.

Mario mengulurkan tangan sambil cengengesan. Dirga tampak enggan meraih tangannya. "Perkenalkan, Mario Einstein. Penemu penguat sinyal tenaga hantu. Kalau berminat, bisa hubungi saya. Senin harga naik."

Tidak ada tawa, kecuali Mario. Garing.

"Itu teori relativitas. Beda. Pemerintah nggak mungkin keluar M-M-an buat bangun pemancar sinyal tenaga hantu," ejek Dirga setengah serius.

"Memangnya yang bangun tower itu pemerintah, ya? Bukan swasta?" tukas Ibnu dengan wajah polosnya.

"Berisik!" tangan Dirga terulur membungkam mulut Ibnu yang sejak tadi protes.

Selepas Dirga menarik tangannya kembali, Mario yang biasanya senang berkelakar, mengulangi perkenalannya. Tawa kembali pecah, lalu berhenti ketika Ibnu memekik. Dia melihat penampakan kepala berambut putih, terurai, muncul dari tangga induk. Sesuatu atau seseorang itu terdiam, tampak menakutkan saat mengawasi mereka yang belum sadar akan keberadaannya.

"Sekarang sudah malam. Kalau ngobrol jangan keras-keras. Ganggu yang tidur," kata Eti, pemilik kos yang sudah berumur 67 tahun. Dia, yang selalu membanggakan pencapaian usianya di atas 65 tahun, dan bagaimana kehidupan membentuknya. Namun ironis, beberapa kali penghuni kos mendengar keluhannya. Mulai dari gampang lelah dan susah tidur.

"Iya, Bu. Maaf."

Tangan Dirga terulur mematikan tivi yang sudah tidak mereka tonton. Satu persatu berdiri, kemudian menatap Eti sebentar. Cerita horor pun tamat.

"Selamat malam, Bu." Ganda yang dituakan dalam grup dan sering menjadi tempat sampah curhatan anak-anak kos, mewakili pamit.

Eti mengangguk dan menuruni tangga induk dengan langkah hati-hati karena takut terperosok. "Jangan lupa matikan lampu ruang tamu. Hemat energi, hemat biaya."

"Kayak iklan jadul, ya?" gumam Ibnu sembari memutar bola matanya ke arah Ganda.

"I-iya, Bu Eti," jawab Ganda, mewakili teman-temannya yang sedang menahan tawa. Dia mendelik supaya Ibnu mengembalikan bola matanya ke posisi semula.

"Kirain kuntilanak. Untung aja aku nggak jerit-jerit manja begitu tahu ada muka keriput, rambut putih di pojokan," kata Ibnu santai saat memutar kunci kamarnya. Dia berdiri sejenak di ambang pintu, kemudian menoleh ke arah Ganda.

"Nanti kalau Bu Eti dengar omonganmu, terus balik ke sini bisa mampus kita," urai Ganda menahan tawanya sembari membuka pintu kamar dan bersiap masuk.

"Nggak mungkin."

"Tapi masih ngerian ketemu Bu Eti daripada ketemu Mbak Kunti." Ganda tersenyum jail. "Eh, hati-hati, Nu. Kalau kamu nggak bisa tidur, bisa-bisa Mbak Kunti yang temani. Periksa kiri-kanan dulu, terutama guling. Takut ada rambutnya." Dia melongok dari dalam kamar, tertawa dan melesak masuk setelah berhasil menakut-nakuti Ibnu yang memaki dengan berbagai macam nama binatang, lalu membanting pintu kamarnya.

"Jangan lupa cuci kaki, cuci muka, sikat gigi. Kalau perlu mandi, terus berdoa sebelum tidur. Selain biar nggak bau naga, juga biar nggak diganggu sama makhluk halus. For your information, mereka suka sama yang jorok-jorok," terang Zainal sambil melangkah menuju kamar paling ujung.

"Bawel, ah. Kayak kamu bersih aja," repet Mario dari arah belakang, mengikuti langkah Zainal dengan lambaian tangan mirip ibu-ibu sosialita.

"Beneran, Mar. Jangan lupa berdoa sebelum tidur juga biar nggak mimpi buruk," sambung Dirga saat memutar pandangan ke kedua orang yang berdiri terpaku.

Tentu saja, Dirga tidak dapat menghindari tatapan mencemooh Mario, sementara Zainal tertawa penuh kemenangan.

"Tambah satu lagi emak-emaknya. Yang ada mereka terpukau, minta kelon atau―"

"Kalau ngomong jangan sembarangan," potong Zainal sebelum pintu menelan seluruh tubuhnya. "Tapi boleh, deh, aku aminin. Amiiin."

"Amiiin," sambung Mario jail. Dia tirukan tawa setan seperti di film-film horor. "Dasar penakut semua. Siapa tahu mereka memang mau kenalan sama kita."

"Amit-amit. Kenalan sendiri aja," balas Zainal samar dari dalam kamar.

Kunci kamar Dirga terputar dan melesakkan tubuh jangkungnya. Dia berdiri sejenak sambil mendengkus jengkel. Dirga lalu membungkuk, mengintip melalui lubang kunci yang menembus langsung pintu kamar Mario.

"Jangan ganggu kita. Kita juga nggak ganggu kamu. Dunia kita beda. Mario tadi cuma bercanda. Jangan dianggap serius," gumamnya.

Usai menggumam, Dirga memutar tubuh dan melangkah menuju lemari untuk mengeluarkan laptop. Malam ini dia terpaksa lembur karena ulah Ganda yang menyuruhnya pulang cepat.

Rumah Tusuk SateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang