Tiga Puluh Enam

114 12 0
                                    


Dua bulan kemudian

      Alika dengan badan lelahnya, menyusuri lorong sebuah rumah sakit.

Jam di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 22.30 WIB. Ia baru selesai dari acara wedding kliennya, dan di paksa putar balik ke rumah sakit oleh papanya.

Anin, kakak iparnya, dilarikan ke rumah sakit selepas isya tadi. Karena menunjukkan tanda-tanda akan  melahirkan.

"Udah lahir, kah?" tanyanya pelan entah pada siapa?.

"Udah. Abang lagi di dalem, adzanin putranya" jawab papa sembari mengelus sayang kepala putrinya.

"Oh, mama mana pa?."

"Ke kantin kak, cari kopi. Tuh, adikmu setengah hidup matanya" canda papa menunjuk Haikal yang penampakannya tak jauh beda dengan kondisinya.

"Bunda sama ayah kak Anin, udah di hubungin pa?"

"Udah. Tapi papa bilang besok pagi aja ke sininya."

"Oke. Alika bobok bentaran ya pa?, Capek banget" pamit Alika.

"Oke. Bantalan papa apa adek?"

"Papa aja"

"Oke"

Akhirnya, Alika merebahkan diri di bangku tunggu dengan berbantalkan paha sang papa.

Papa Hendra mengelus lembut kepala anaknya agar semakin pulas.

Alika tertidur pulas, bahkan tak menyadari bahwa yang menjadi bantalnya adalah Fadil, bukan papanya.

Niat Fadil ingin mengajak main Haikal, mengingat yang jomblo cuma mereka berdua.

Namun karena Haikal tidak ada di rumah, dan menurut bibi sedang ada di rumah sakit, jadilah Fadil menyusul ke tempat ini.

"Kopi Dil?" tawar Haikal.

"Kagak, kagak ngopi gua?" sahutnya pelan.

"Gaya elo. Sejak kapan seorang Fadil kagak ngopi?!" seru Haikal tidak percaya.

"Sejak bucin sama kakak elo. Gua pingin panjang umur, supaya bisa dampingin kakak elo"

"Cieee.." ledek papa, mama, dan Haikal bersamaan.

Suara berisik papa, mama, dan Haikal, membuat Alika terbangun.

Ia melihat ke arah dagu seseorang di atasnya. "Dagu papa kok kenceng?, Nggak berbulu lagi!" batin Alika.

Ia yang masih linglung, meraba pelan dagu yang ia kira milik papanya. Saat sang pemilik dagu menunduk ke arah wajahnya, Alika terlonjak kaget.

Bahkan saking kagetnya, Alika sampai terjatuh ke lantai.

Hal itu tentu saja mengundang tawa keluarganya, dan juga beberapa orang sesama penunggu pasien. Termasuk Fadil, ia tertawa sambil memegangi perutnya.

"Berisik!, Bantuin!. Bukan malah di ketawain. Seneng amat lihat orang jatuh!" protes Alika sambil cemberut.

"Uluh, uluh.. sayangku.. sini Abang bantuin, sayang. Sakit ya?!" seloroh Fadil sembari mengulurkan tangan pada Alika.

Menahan kesal, Alika menerima uluran tangan Fadil.

"Makasih, bang" ucap Alika serius, berhasil membungkam bibir Fadil.

"Ulangi, kak!" pinta Fadil.

"Apaan?!"

"Itu, panggilan buat aku barusan" pinta Fadil.

"Nggak ada. Nggak ada siaran ulang!" elak Alika sembari menjulurkan lidah dengan Bibirnya menahan senyum.

Finally Sah (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang