GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-02
STSD jilid 2 Bagian 3
Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan dalam gelapnya malam menuju ke pintu butulan samping itu telah tersenyum mendengar bisikan Ki Rangga. Segera saja diayunkan langkahnya menuju ke longkangan.
Namun alangkah terkejutnya Ki Bango Lamatan begitu menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi di longkangan itu. Ki Rangga dan yang lainnya tampak sedang mengerumuni seseorang yang sedang meringkuk tak bergerak di dalam longkangan itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Rangga.
“Seseorang telah mati di longkangan ini,” jawab Ki Rangga, “Lebih baik segera kita singkirkan saja mayat ini sebelum ada orang yang mengetahuinya.”
“Aku akan mengambil cangkul di dapur dulu,” sela Glagah Putih kemudian sambil setengah berlari menuju ke ruang tengah melalui pintu butulan.
“Biarlah Glagah Putih aku kawani,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangkat mayat itu di pundaknya.
“Ki Bango Lamatan,” dengan serta merta Ki Rangga mencoba untuk mencegah, “Biar Glagah Putih saja yang membawa mayat ini.”
Ki Bango Lamatan tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Glagah Putih biar membawa peralatan saja.”
“Aku ikut,” tiba-tiba saja Ki Jayaraga menyela, “Aku sudah tidak bisa tidur lagi di sisa malam ini.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa sejak tadi panggraitanya telah mengisyaratkan sesuatu, namun Ki Rangga belum mampu menguraikannya.
Melihat kebimbangan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera berbisik, “Apakah angger merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan?”
Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Entahlah Ki Waskita. Mungkin hanya kekhawatiran yang tidak beralasan.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Sebagai orang yang menimba ilmu pada sumber yang sama, Ki Waskita segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diri Ki Rangga sehubungan dengan ilmu yang sedang di pelajari dan disempurnakannya, aji pengangen-angen. Maka katanya kemudian, “Sebaiknya biarlah Ki Jayaraga saja yang menemani Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih. Aku dan Ki Rangga masih ada urusan yang harus diselesaikan di banjar ini.”
Ki Rangga akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera maklum dengan maksud Ki Waskita.
Demikianlah begitu Glagah Putih telah muncul dengan sebuah cangkul di pundaknya, mereka bertiga pun kemudian dengan penuh kewaspadaan telah menyelinap ke halaman belakang banjar dan kemudian keluar lewat pintu butulan yang terdapat di dinding bagian belakang banjar.
“Para pengawal itu kelihatannya masih tertidur nyenyak,” desis Ki Jayaraga sambil membuka pintu butulan itu.
“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil sedikit membungkuk agar mayat yang dipanggulnya tidak tersangkut pintu butulan yang agak rendah. Lanjutnya kemudian sambil melangkahi tlundak, “Tadi sewaktu aku mengantar Ki Gede lewat halaman belakang ini, mereka juga tampak tertidur pulas. Ki Gede sempat bercerita kepadaku sewaktu Ki Gede datang ke tempat ini, mereka pun sudah tertidur pulas. Agaknya telah terjadi sesuatu yang tidak wajar pada mereka.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Glagah Putih masih sempat berpaling sekilas ke teritisan tempat para pengawal itu tertidur silang melintang sebelum menutup pintu itu kembali dan kemudian menghilang ditelan kegelapan malam.