Jilid 9 bag 1

111 4 0
                                    

Menu

Gagakseta-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-09

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan TADBM)

karya mbah_man

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

STSD Jilid 9

Bagian 1

UNTUK SEJENAK Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Rasa-rasanya Ki Gede pernah bertemu dengan orang itu, tetapi entah di mana dan kapan.

Ketika orang yang terlihat sudah cukup sepuh itu semakin dekat, barulah Ki Gede teringat akan para perantau yang dijumpainya di banjar padukuhan Klangon beberapa saat yang lalu.

Dengan tergesa-gesa Ki Gede pun segera melangkah menyongsong orang tua itu. Sementara Ki Wiyaga yang pernah bertemu dengan kelima perantau di dekat gardu perondan itu pun telah ikut pula berjalan mendekat.

“Bukankah Ki Sanak adalah salah satu dari para perantau yang aku jumpai di banjar padukuhan Klangon itu?” sapa Ki Gede kemudian sesampainya dia di hadapan orang tua itu.

Orang tua itu menghentikan langkahnya. Sambil tersenyum dia menjawab, “Benar Ki Gede, aku salah satu perantau itu. Jika Ki Gede masih ingat, namaku Ki Waskita.”

“O,” Ki Gede tertawa pendek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ternyata aku sudah menjadi seorang pelupa. Padahal umurku masih jauh lebih muda dari Ki Waskita.”

Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Wiyaga yang berdiri di sebelahnya Ki Gede bertanya, “Bukankah Ki Wiyaga juga telah mengenal Ki Waskita?”

“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga sambil mengangguk ke arah Ki Waskita, “Seperti yang pernah aku ceritakan kepada Ki Gede, mereka berlima telah berjasa menyelamatkan nyawaku.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Apakah memang benar demikian?”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Wiyaga tertawa pendek. Jawab Ki Wiyaga kemudian, “Agaknya Ki Gede benar-benar menjadi seorang pelupa.”

“Ah,” desah Ki Gede sambil tertawa, “Di usia yang masih belum begitu tua ini ternyata aku sudah mulai dijangkiti penyakit lupa.”

Ki Waskita tersenyum mendengar keluh kesah Ki Gede. Katanya kemudian, “Usia Ki Gede boleh lebih muda dari aku, namun beban kerja yang harus Ki Gede tanggung lebih banyak sehingga sudah sewajarnya jika Ki Gede menjadi sedikit pelupa. Berbeda dengan aku yang kerjanya hanya menyusuri bulak panjang di siang hari dan menghitung banyaknya bintang di langit di malam hari.”

“Ah,” kembali Ki Gede tertawa. Beberapa orang yang mendengar ucapan Ki Waskita pun ikut tertawa. Berkata Ki Gede kemudian, “Sebenarnyalah Ki Waskita adalah lebih dari sekedar seorang perantau. Namun aku tidak memaksa Ki Waskita untuk membuka jati diri Ki Waskita. Suatu saat nanti jika waktunya telah tiba, kami seluruh penghuni perdikan Matesih hanya dapat mengucapkan rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan dan pertolongan dari Ki Waskita dan kawan-kawan.”

“Sudahlah Ki Gede,” sahut Ki Waskita cepat, “Sekarang kita harus segera mengadakan pembersihan ke segenap sudut padepokan Sapta Dhahana ini sebelum kita menempatinya untuk sementara.”

Ki Gede tidak menjawab, hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk. Tanpa sadar dia berpaling ke arah sebuah arena pertempuran jauh di sebelah barat. Ternyata Ki Waskita pun telah mengikuti arah pandang Ki Gede.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang