GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-04
Bagian 2
“Semoga pengenalanku akan tingkatan ilmuku yang hanya sekilas di dalam sanggar tadi tidak salah,” kembali Ki Gede berangan-angan, “Orang bertopeng itu telah membuka kemungkinan-kemungkinan jalur perguruan Gunung Kidul untuk berperan kembali di masa depan.”
Namun angan-angan Ki Gede terputus ketika mendengar bentakan Raden Surengpati yang telah turun dari kudanya.
“Ki Gede, bersiaplah!” bentak Raden Surengpati kemudian sambil menyerahkan kendali kudanya kepada Eyang Guru, “Engkau tidak dapat menarik mundur kata-katamu kembali. Kita akan bertempur sampai salah satu diantara kita terkapar tak bernyawa!”
“Itu tidak perlu Raden,” sahut Ki Gede sambil meloncat turun dari kudanya, “Kita hanya perlu menunjukkan kepada para pengawal bahwa keberadaan Perdikan Matesih ini masih dibawah kuasaku, Ki Gede Matesih, bukan dibawah pengaruh orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”
Hampir saja Raden Surengpati menjawab kata-kata Ki Gede kalau saja tidak didengarnya suara Eyang Guru berdenging di telinganya.
“Raden harus bisa menundukkan Ki Gede tanpa melukai perasaannya,” terdengar suara Eyang Guru berdenging di telinganya menggunakan aji pameling, ”Dengan demikian kita akan dapat mengambil hati Ki Gede dan sekaligus hati para pengawal agar berpihak kepada kita. Ingat, kita datang di Perdikan Matesih ini dengan tujuan menjadikan Perdikan Matesih sebagai pancadan untuk perjuangan kita,”
Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam. Ketika dia kemudian sekali lagi berpaling ke arah Eyang Guru yang sudah menuntun kedua ekor kuda itu menepi, tampak Eyang Guru tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang hatinya masih muda sehingga perasaannya mudah sekali terpancing. Kadangkala adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu mudah menuruti perasaannya dan melupakan tujuan utama mereka datang di Perdikan Matesih itu. Apalagi dia baru saja mengalami kekecewaan beruntun di pategalan tadi, gagal melampiaskan hasratnya kepada Ratri serta dipermalukan oleh seorang anak muda yang bernama Glagah Putih.
“Seandainya saja anak muda itu bukan kawan Ki Rangga, tentu tubuhnya sudah aku lumat dengan Aji Praharaku,” berkata Raden Surengpati dalam hati mengenang peristiwa di pategalan beberapa saat yang lalu.
Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang yang hadir di tengah-tengah bulak itu segera menepi kecuali Ki Gede dan Raden Surenpati. Dengan tergopoh-gopoh seorang pengawal segera meminta kendali kuda Ki Gede. Sedangkan para bebahu yang mengikuti perjalanan nganglang itu dengan jantung berdebaran segera mengerumuni Ki Gede.
“Ki Gede,” berkata Ki Jagatirta kemudian sambil mengatur nafasnya yang memburu karena gejolak di dalam dadanya, “Apakah Ki Gede sudah memikirkan masak-masak akibat yang dapat ditimbulkan dari perang tanding ini.”
Ki Gede tersenyum sambil menyingsingkan kain panjangnya. Jawabnya kemudian, “Ki Jagatirta, sudah aku katakan sebelumnya. Akibat apapun dari hasil perang tanding ini akan aku tanggung semua. Aku sebagai pemimpin tertinggi Perdikan Matesih tidak akan membiarkan permasalahan ini berlarut-larut. Keberadaan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu bagaikan duri dalam daging. Kita harus berani mengeluarkan duri itu dengan paksa, atau justru tubuh kita sendiri yang akan membusuk karenanya.”
Para bebahu itu hanya dapat saling pandang dan menarik nafas panjang. Mereka telah mengenal Ki Gede sejak masih muda, seorang yang keras hati dan pantang menyerah.