Jilid 10 bag 3

78 4 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-10

Bagian 3

“Dan Ratri dapat saja dijadikan tawanan oleh mereka untuk memaksa Ki Gede menyerah atau meminta tebusan diluar kewajaran?” timpal Sangkan dengan wajah yang menegang.

“Atau paling tidak keselamatan Ratri sangat rawan di tangan para cantrik yang putus asa itu,” berkata Ki Kamituwa selanjutnya, “Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Aku akan menghadap Ki Gede sekarang juga. Apapun kata Ki Gede kemudian kepadaku.”

Selesai berkata demikian dengan bergegas Ki Gede segera bangkit dari duduknya dan berjalan memasuki ruang dalam. Sementara Sangkan hanya dapat mengikuti dengan pandangan matanya serta jantung yang berdebaran.

Sepeninggal Ki Kamituwa, Sangkan hanya dapat merenung dengan hati gelisah memikirkan putri satu-satunya Ki Gede itu. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya jika Ratri telah nekat berbuat seperti dugaan mbok Pariyem, meninggalkan rumah yang telah dihuninya semenjak lahir.

“Jika Ratri hanya bersembunyi di sekitar rumah, tentu dengan mudah sudah dapat ditemukan,” gumam Sangkan sambil menarik nafas panjang, “Anak itu memang terlihat sangat dimanja oleh Ki Gede. Semenjak Nyi Gede meninggal dunia, seolah-olah semua keinginan Ratri dikabulkan. Bahkan ketika semua orang membicarakan hubungan Ratri dengan Raden Surengpati, Ki Gede terlihat tidak berusaha melarang, bahkan cenderung membiarkan dan pura-pura tidak tahu.”

 “Selamat malam Ki Gede,” sapa Ki Kamituwa kemudian dengan suara perlahan dan sedikit membungkukkan badan, “Mohon dimaafkan telah mengganggu istirahat Ki Gede.”

Kembali Sangkan menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang sejuk. Sesekali dia menengok ke arah pintu ruang dalam yang tertutup rapat dengan harapan dari pintu itu segera muncul Ki Kamituwa bersama Ki Gede Matesih.

Namun harapan Sangkan itu agaknya masih belum dapat terwujud. Sudah hampir sepenginang sirih namun pintu ruang dalam itu masih terlihat tertutup rapat.

Dalam pada itu Ki Kamituwa telah berdiri di depan pintu bilik yang digunakan oleh keluarga Ki Gede untuk bermalam. Berbagai pertimbangan hilir mudik di dalam benaknya sebelum memutuskan untuk mengethuk pintu. Ki Kamituwa mencoba mempertajam pendengarannya untuk mendengar setiap bunyi yang berasal dari dalam bilik. “Gila!” geram Ki Kamituwa dalam hati kemudian dengan muka sedikit memerah, “Mengapa tiba-tiba saja aku mengharapkan mendengar suara yang aneh-aneh dari dalam bilik ini? Otak tua ini sudah tidak sepantasnya lagi berpikiran yang aneh-aneh.”

Namun Ki Kamituwa masih belum mempunyai keberanian untuk mengethuk pintu sehingga hanya berdiam diri saja di depan bilik.

Jika saja Ki Kamituwa tidak mendengar suara Ki Gede di dalam bilik terbatuk-batuk kecil, tentu Ki Kamituwa tetap akan berdiri di depan bilik itu semalaman.

Sejenak kemudian Ki Kamituwa pun segera mengethuk pintu bilik itu perlahan-lahan dengan irama ganda dua kali berturut-turut.

“Siapa?” terdengar suara Ki Gede yang berat dan dalam.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang