GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-08
Bagian 3
“O, tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Aku mempunyai sebuah pertanyaan untuk kalian sebelum kita melanjutkan pertempuran.”
“Agaknya engkau mencoba mengulur waktu atau berusaha mengambil nafas agar kematianmu sedikit tertunda,” sahut Talangbanyu sambil maju selangkah, “Tapi kali ini kami memang sengaja berbaik hati hanya sekedar sebagai tanda hormat kami terhadap lawan yang sudah sangat tua renta.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar-getar di dalam dadanya. Betapapun juga ucapan kedua lawannya itu sempat menyesakkan dadanya.
Berkata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak berdua, siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini? Aku yakin kalian berdua bukan murid-murid Perguruan Sapta Dhahana. Ilmu kalian yang mumpuni tidak berlandaskan pada kekuatan api sebagaimana yang menjadi ciri khas Perguruan Sapta Dhahana.”
Sejenak kedua orang itu saling pandang. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mereka yang menggelegar memenuhi udara di medan pertempuran itu.
“Engkau cukup jeli, kakek tua,” berkata Talanggeni kemudian setelah suara tawanya mereda, “Kami berdua memang bukan anak murid Sapta Dhahana. Kami berdua adalah tamu yang diundang oleh Kiai Damar Sasangka pemimpin perguruan ini. Kami adalah sahabat baik Kiai Damar Sasangka dan diajak untuk ikut serta mendukung usaha orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu untuk meluruskan sejarah. Mengembalikan tahta negeri ini kepada yang berhak.”
Berdesir dada Ki Jayaraga. Ternyata di perguruan itu diam-diam telah berkumpul kekuatan yang cukup nggegirisi. Jika saja Mataram tidak cepat bertindak, tentu kekuatan itu akan sangat membahayakan bagi tegaknya Mataram.
“Apakah Ki Sanak berdua mendukung usaha orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
“Persetan! Itu bukan urusanmu!” geram Talanggeni, “Sekarang lebih baik engkau menyerah saja, kakek tua! Jangan mencoba menipu kami dengan mengulur-ulur waktu. Mungkin engkau sedang menunggu bala bantuan. Tapi itu percuma saja. Siapapun yang kami hadapi, akan kami bunuh dengan sangat kejam. Kecuali jika mereka mau menyerah dengan baik-baik, tentu kami akan memperlakukan mereka dengan sedikit welas asih pada saat mereka menghadapi sakaratul maut.”
“Memang sebaiknya engkau menyerah saja, orang tua,” sahut Talangbanyu, “Percuma engkau mengadakan perlawanan, tenagamu akan terbuang sia-sia. Lebih baik tenagamu engkau simpan untuk menghadapi sakaratul maut serta perjalananmu di alam kelanggengan nanti.”
“Ya, aku setuju,” Talanggeni menimpali, “Engkau masih memerlukan tenaga untuk perjalananmu nanti di alam kelanggengan. Siapa tahu engkau masih harus bertempur menghadapi anak buah iblis atau bahkan iblis itu sendiri di alam kubur nanti.”
“He, kalian berdua berbicara ngoyoworo seolah-olah kalian memang sudah pernah berkunjung ke sana,” sahut Ki Jayaraga kemudian sambil tertawa pendek, “Aku mempunyai pemikiran yang lebih baik dari kalian berdua.”
Sejenak kedua lawan Ki Jayaraga itu saling pandang. Bentak salah satu dari keduanya kemudian, “Apa maksudmu, he?!”
Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan kedua lawannya. Jawab Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menyungging senyum, “Untuk membuktikan ucapan kalian tadi, aku dengan suka rela akan mengantar kalian untuk mengunjungi alam kelanggengan.”