Jilid 11 bag 3

104 3 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-11

Bagian 3

Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Mungkin saja, Ki. Aku ingat cerita kalian bertiga. Mengejar-kejar seorang linuwih yang tidak mau mengungkapkan jati dirinya. Namun saat itu kita justru dapat menarik kesimpulan bahwa orang aneh itu sengaja membawa Ki Bango Lamatan bertiga untuk melihat sendiri kesiapan murid-murid padepokan Sapta Dhahana yang akan mengepung banjar padukuhan Klangon.”

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Karena pertolongan orang itulah kita bisa lolos dari banjar padukuhan Klangon.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. Kedua orang tua itu tampak berusaha mengetrapkan aji Sapta pandulu untuk mempertajam penglihatan mereka.

“Tidak ada yang mencurigakan,” desis Ki Waskita perlahan mirip desah seseorang yang putus asa.

“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang sejuk, “Sebaiknya kita kembali. Kasihan Ki Gede dan Ki Kamituwa yang mungkin menunggu kita kembali.”

“Baiklah,” sahut Ki Waskita kemudian, “Marilah kita kembali.”

Namun baru saja langkah kedua orang tua itu terayun, pendengaran mereka yang sangat tajam telah mendengar suara gemerisik beberapa langkah tepat di belakang mereka.

Bagaikan telah berjanji sebelumnya, kedua orang tua itu pun secepat kilat segera membalikkan tubuh mereka. Sekejap mereka telah dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika kedua orang tua itu kemudian mengamati keadaan di depan mereka, hanya berjarak sekitar enam langkah di hadapan kedua orang tua itu, tampak sesosok bayangan hitam berdiri di atas kedua kakinya yang renggang. Orang yang selama ini mereka cari, berkerudung hitam dengan secarik kain menutupi sebagian wajahnya.

Sejenak tidak ada seorang pun yang mendahului bergerak. Semuanya saling menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Namun tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam dari orang berkerudung itu, “Salah satu dari kalian, ikutlah aku!”

Selesai berkata demikian tangan kanan orang berkerudung itu menunjuk ke arah Ki Waskita.

Berdesir dada kedua orang tua itu. Tanpa sadar keduanya saling berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang tua itu memang terlihat ragu-ragu untuk memenuhi ajakan orang berkerudung itu.

“Aku tunggu di bawah pohon Sadeng itu,” berkata orang berkerudung itu kemudian sambil berjalan menjauh.

Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan benar-benar tidak tahu harus berbuat apa atas tawaran orang berkerudung itu. Namun jika kedua orang tua itu melewatkan kesempatan itu, teki-teki yang selama ini menyelimuti jati diri orang berkerudung itu akan tetap gelap.

“Biarlah aku turuti permintaannya,” berkata Ki Waskita pada akhirnya, “Aku minta Ki Bango Lamatan ikut mengawasi dari kejauhan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.’

“Baiklah Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memandang Ki Waskita yang melangkah pergi. Sebenarnya dalam hati Ki Bango Lamatan ingin mengikuti Ki Waskita secara diam-diam, namun niat itu segera diurungkannya. Ki Bango Lamatan sadar, orang berkerudung itu pasti akan mengetahuinya.

“Semoga saja orang berkerudung itu bermaksud baik,” desis Ki Bango Lamatan kepada dirinya sendiri sepeninggal Ki Waskita, “Ki Waskita juga bukan anak kemarin sore yang akan dengan mudahnya diperdayai. Jika orang itu bermaksud buruk, Ki Waskita dapat berteriak memanggilku.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang