JILID 3 BAG 3

133 4 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-03

Bagian 3

Ki Jagatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara orang di sebelahnya yang sudah cukup berumur telah beringsut dari duduknya sejengkal sambil bertanya, “Maaf Ki Gede, apakah telah ditunjuk seseorang untuk menjemput para tamu itu?”

“Sudah Ki Kamitua,” sahut ki Gede cepat, “Aku telah memerintahkan kepada Ki Wiyaga pagi tadi sebelum Matahari terbit untuk pergi ke dukuh Klangon menjemput para tamu kita.”

Ki Kamitua mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ki Gede, para pengawal di Perdikan Matesih ini telah terpecah menjadi dua golongan. Sebagian tetap bersetia kepada Perdikan Matesih di bawah panji-panji kebesaran Mataram, sedangkan yang lainnya, terutama yang muda-muda, mereka lebih senang berangan-angan bersama para pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku khawatir jika Ki Wiyaga sebagai pemimpin pengawal Perdikan Matesih lebih condong untuk mengikuti golongan yang terakhir.”

Terdengar orang-orang yang hadir di ruang dalam itu bergeremang satu dengan lainnya. Agaknya masing-masing mempunyai tanggapan yang berbeda.

“Ki Kamitua,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengangkat tangan kanannya untuk memberi isyarat agar semua orang diam sejenak, “Aku percaya dengan Ki Wiyaga. Dia telah menjadi pengawal perdikan Matesih sejak masih muda. Kedudukan pemimpin pengawal itu pun aku percayakan kepadanya setelah ayahnya mengundurkan diri karena usia tua. Jadi aku percaya kepada Ki Wiyaga sebagaimana dulu aku juga percaya kepada ayahnya.”

Sejenak mereka yang hadir di tempat itu terdiam. Masing-masing telah tenggelam dalam kenangan masa lalu yang tenang dan tentram.

“Perdikan Matesih adalah perdikan yang tenang dan damai,” berkata seorang yang rambutnya sudah putih semua dalam hati, “Hampir tidak ada gejolak sama sekali di tanah perdikan ini. Semua penghuninya hidup rukun, guyup dan saling membantu. Namun dengan kedatangan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen dan para pengikutnya itu, penghuni tanah Perdikan ini telah terpecah belah dan jauh dari yang disebut rukun dan damai.”

Pembicaraan itu terhenti sejenak ketika tiba-tiba saja terdengar pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur berderit. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncullah seorang gadis yang sedang beranjak dewasa sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan.

Semua orang segera menundukkan wajahnya kecuali Ki Gede Matesih. Dipandanginya wajah anak perempuan satu-satunya itu dengan kening yang berkerut merut. Seraut wajah yang menginjak dewasa dengan segala kelebihannya dibanding dengan gadis-gadis sebayanya.

Ratri, nama gadis semata wayang Ki Gede itu segera berjongkok dan meletakkan minuman dan makanan di depan para tamu. Setelah semuanya selesai, Ratri pun kemudian segera mundur setapak untuk kemudian berdiri dan membalikkan badan. Sejenak kemudian gadis cantik dengan keindahan bentuk tubuh yang mulai beranjak dewasa itu pun telah hilang di balik pintu yang tertutup rapat.

Sepeninggal putrinya, tampak wajah Ki Gede menjadi muram, semuram langit yang sedang turun hujan.

Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, Ki Gede pun kemudian berdesis perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku mungkin salah satu dari sekian banyak orang tua yang tidak mampu memberikan tuntunan yang baik kepada anaknya.”

Suara itu terdengar seperti sebuah keluh kesah atau penyesalan yang tiada taranya.

Orang-orang yang mendengar keluh kesah Ki Gede itu tidak ada yang berani mengangkat kepalanya atau pun membuka suara. Mereka tetap menundukkan kepala dalam-dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Ki Gede.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang