JILID 7 BAG 3

103 4 0
                                    

Menu

API DI BUKIT MENOREH

Melestarikan karya agung anak bangsa

STSD-07

Bagian 3

Ki Gede tidak menyahut. Hanya tampak sebuah senyum menghiasi bibirnya.

Ketika pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Wiyaga itu kemudian telah bergabung dengan kawan-kawan mereka, Ki Wiyaga selaku pemimpin pengawal segera menghadap Ki Gede.

“Ki Gede,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil mengangguk hormat, “Tugas membawa Nyi Gede ke Matesih telah selesai dilaksanakan dengan selamat. Selanjutnya kami beserta pengawal perdikan Matesih yang masih tersisa, telah siap bergabung untuk membantu pasukan Ki Gede.”

“Terima kasih, ki Wiyaga,” jawab Ki Gede dengan raut wajah penuh syukur, “Semoga semua ini adalah awal dari kebangkitan perdikan Matesih yang selama ini di bawah cengkeraman bayang-bayang orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Yang mendengar kata-kata Ki Gede terlihat mengangguk-anggukkan kepala.

“Nah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Beberapa pengawal segera memotong pohon yang cukup besar. Selebihnya yang lain mempersiapkan perisai serta pasukan pemanah untuk mengimbangi serangan orang-orang padepokan pada nantinya.”

Ki Wiyaga selaku pemimpin pengawal segera tanggap. Segera diperintahkan beberapa pengawal untuk menebang sebuah pohon di sekitar tempat itu yang sekiranya memadai digunakan sebagai alat untuk mendobrak pintu gerbang padepokan.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga telah berhasil membantu Ki Bango Lamatan untuk segera menemukan kesadarannya kembali. Dengan memegangi lambung kanannya yang bagaikan hancur, Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikuti Ki Jayaraga bergeser ke balik lebatnya gerumbul perdu dan pohon-pohon yang banyak tumbuh di halaman sebelah barat padepokan.

“Marilah Ki Bango Lamatan,” bisik Ki Jayaraga sambil membantu memapah Ki Bango Lamatan selangkah dua langkah, “Luka dalam Ki Bango Lamatan agaknya cukup parah. Memang aku tidak melihat setetes darah pun. Namun aku khawatir mungkin ada tulang rusuk yang patah,” Ki Jayaraga berhenti sejenak sambil mengamati lambung kanan Ki Bango Lamatan yang tampak biru lebam. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Bango Lamatan membutuhkan waktu sejenak untuk mencoba memperbaiki tata letak urat dan aliran darah di dalam tubuh?”

Ki Bango Lamatan tidak menjawab hanya mengangguk kecil. Ketika Ki Jayaraga kemudian dengan perlahan membantu Ki Bango Lamatan duduk di balik sebuah gerumbul lebat, betapa wajah orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu terlihat sangat pucat.

“Gila!” geram Ki Bango Lamatan dalam hati sambil berusaha untuk duduk dengan nyaman walaupun lambung kanannya rasa-rasanya bagaikan dihunjam berpuluh pisau belati, “Orang itu benar-benar gila! Adalah kesalahanku sendiri yang memutuskan untuk membenturkan ilmuku dengan aji Mahesa Kurda tadi. Dia benar-benar telah bersiap untuk mati sampyuh. Seandainya aku tadi memilih melindungi kedua lambungku, tentu dadakulah yang hancur menerima srudukan kepala kerbau gila itu.”

Sambil meringis menahan rasa sakit yang luar biasa, Ki Bango Lamatan pun kemudian berusaha duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian, orang yang kini telah menjadi kepercayaan Pangeran Pati di Mataram itu segera tenggelam dalam samadinya.

Kesempatan itu ternyata juga telah dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Guru Glagah Putih itu pun kemudian segera melakukan hal yang sama, duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang