GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-11
Bagian 2
“Tutup mulutmu!” kembali orang itu membentak keras, “Itu hanya salah satu cara kalian untuk menjebakku. Aku tidak akan terjebak oleh akal licik kalian. Jika aku ikut kalian ke banjar, kesempatanku akan semakin sempit bahkan mungkin tertutup sama sekali. Walaupun aku mampu menghadapi seluruh pengawal Perdikan Matesih ini, namun korban akan terlalu banyak berjatuhan, dan aku masih mempertimbangan jika hal itu yang terjadi.”
“Sombong!” tiba-tiba Ki Kamituwa yang sedari tadi hanya berdiam diri dan menjadi pendengar yang baik telah terusik kesabarannya, “Ki Sanak tidak usah banyak alasan. Menyerah sajalah atau kami terpaksa menggunakan cara kami untuk membawa Ki Sanak ke banjar padukuhan induk.”
“O”, tiba-tiba saja orang berkerudung itu berpaling ke arah Ki Kamituwa sambil jari telunjuk tangan kanannya diarahkan ke hidung Ki Kamituwa, “Ternyata Ki Kamituwa tidak kalah garang dari Ki Gede. Baiklah, kita akan bertempur. Jika kalian berdua kalah, kalian harus memberikan keterangan yang jujur kepadaku, kemana perginya Ki Rangga Agung Sedayu.”
Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan. Agaknya sudah tidak ada jalan lain selain mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Maka dengan sebuah isyarat ke arah Ki Kamituwa, Ki Gede segera bergeser selangkah lagi ke belakang dan berdiri tepat di samping kudanya.
Agaknya Ki Kamituwa maklum dengan apa yang dipikirkan oleh pemimpinnya itu. Segera saja dia melangkah dan menempatkan dirinya di samping kudanya. Ketika Ki Gede kemudian menjentikkan ibu jari dengan jari tengah tangan kanannya, serentak kedua orang itu segera mengerahkan tenaga dan menghentak keras punggung kuda masing-masing dengan menggunakan telapak tangan mereka yang terbuka.
Akibatnya adalah sangat mengejutkan bagi orang berkerudung itu. Diawali dengan ringkikan yang keras, kedua kuda itu pun telah melonjak ke depan dan kemudian berlari sekencang-kencangnya bagaikan dikejar segerombolan serigala lapar.
Orang berkerudung yang berdiri sekitar enam langkah dari kedua orang tua itupun menjadi terkejut bukan alang kepalang. Dia sama sekali tidak menduga jika kuda-kuda itu dengan gerakan yang sangat cepat menerjang ke depan. Namun dengan gerak naluriah, orang berkerudung itu mampu menghindari terjangan kedua kuda yang bagaikan liar itu dengan cara meloncat ke samping.
“Setan! Iblis! Gendruwo! Tetekan!” umpat orang berkerudung itu dengan nafas memburu menahan kemarahan yang menghentak dada, “Kalian benar-benar orang-orang yang licik. Aku berubah pikiran. Aku akan membuat kalian cacat seumur hidup agar peristiwa ini menjadi pengingat bagi kalian sehingga kalian akan selalu menyesalinya setiap saat.”
Namun Ki Gede dan Ki Kamituwa sudah tidak peduli dengan segala ucapan orang berkerudung itu. Kedua orang tua yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu segera bergeser berpencar ke arah yang berbeda.
“Bagus!” geram orang berkerudung itu, “Kalian menyangka aku akan kerepotan mendapat serangan dari arah yang berbeda sekaligus? Kalian salah. Justru kalianlah yang akan menyesal telah bertempur dengan terpisah, tidak bertempur berpasangan.”
Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Apa yang dikatakan orang berkerudung itu memang ada benarnya. Jika lawan yang dihadapi memang mempunyai kelebihan dari mereka berdua, sebaiknya mereka bertempur berpasangan untuk dapat saling membantu dan mengisi serangan.
“Aku belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari orang ini,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mempersiapkan diri sebaik-baiknya, “Yang jelas orang ini memiliki kekuatan yang dahsyat. Namun dengan serangan silih berganti dari dua arah yang berbeda, aku harap dia akan mengalami kesulitan.”
