Jilid 6

128 5 0
                                    

GAGAKSETA-2

MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA

STSD-06

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan TADBM)

karya mbah_man

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

STSD Jilid 6

Bagian 1

“GILA!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur. Dengan segera diperiksanya kulit lengannya yang tersentuh sisi telapak tangan Ki Jayaraga.  Ternyata sebagian kulitnya telah melepuh dan berwarna merah kehitaman.

“Setan, iblis laknat jahanam!” umpat Ki Brukut tak habis habisnya sambil menyeringai menahan pedih yang menyengat kulit lengannya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Jayaraga kemudian begitu melihat lawannya sedang sibuk memeriksa lukanya, “Silahkan beristirahat sebentar untuk mengobati luka Ki Sanak. Jika Ki sanak tidak membawa obat, aku ada sedikit yang dapat dipakai sementara untuk menahan pedih di luka Ki Sanak.”

“Persetan!” geram Ki Brukut dengan wajah merah padam, “Jangan engkau sangka aku sudah habis sampai di sini. Aku masih mempunyai bermacam-macam ilmu yang lain yang cukup untuk membuatmu bertekuk lutut. Aku peringatkan sekali lagi, jangan mencoba bergurau dengan Ki Brukut, nyawamu sudah berada di ujung rambutmu.”

Namun Ki Jayaraga menanggapi ancaman Ki Brukut dengan sebuah senyuman, senyuman yang tampak sangat menyakitkan hati lawannya.

Dengan cepat Ki Brukut segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong ikat pinggangnya. Setelah menaburkan bubuk yang berwarna putih di atas lukanya, Ki Brukut pun kemudian menyimpan kembali sisa obat dalam bungkusan itu ke kantong ikat pinggangnya kembali.

“Nah,” berkata Ki Brukut kemudian, “Sekarang bersiaplah untuk menerima hukuman. Aku sudah tidak akan bermain-main lagi. Ungkapan ilmu yang akan aku tunjukkan mungkin akan sangat membingungkanmu. Tapi percayalah, jika Ki Sanak menyerahkan diri secara baik-baik, aku akan mempercepat kematianmu tanpa merasakan sakit sama sekali.”

Guru Glagah Putih itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik dari ucapannya, lawannya itu sangatlah sombong sekali. Namun Ki Jayaraga berpendapat, jika tidak memiliki bekal yang lebih dari cukup, tentu lawannya itu tidak akan berani berkata seperti itu.

“Baiklah Ki Brukut,” berkata Ki Jayaraga kemudian menanggapi, “Kita akan bertempur kembali. Namun kali ini kita harus membuat sebuah perjanjian terlebih dahulu. Selama pertempuran berlangsung, tidak diperkenankan untuk mengambil istirahat, makan atau minum misalnya. Bahkan mengobati luka pun juga termasuk dilarang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Brukut dengan wajah yang merah padam. Giginya terdengar bergemelutuk menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun.

“Aku peringatkan sekali lagi. jangan menghina Ki Brukut!” geram Ki Brukut kemudian sambil tangan kirinya menunjuk ke arah wajah lawannya, “Aku dapat berbuat apa saja bahkan diluar batas kewajaran seorang manusia sekalipun.”

Diam-diam Ki Jayaraga tersenyum dalam hati. Pancingannya ternyata berhasil. Lawannya menjadi waringuten dan tentu saja Ki Jayaraga berharap penalaran lawannya pun akan menjadi buram serta pengetrapan ilmunya menjadi tumpang suh.

Maka kata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak aku menjadi tidak sabar lagi. Sedari tadi engkau selalu mengancam dan mengancam. Aku benar-benar sudah bosan dan muak mendengar ancamanmu itu.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang