GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-12
Bagian 2
Kembali Ki Lurah menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Terus terang aku meragukan semua keterangan itu. Yang jelas mereka telah gagal menuntaskan rencana penyergapan yang telah dirancang sedemikian rapinya itu.”
Kedua prajurit pengawal Ki Lurah itu terdiam. Mereka berdua pun menjadi ragu-ragu akan kekuatan yang berdiri di belakang Trah Sekar Seda Lepen itu. Namun sebenarnya kedua prajurit pengawal itu agak merasa enggan bergabung dengan pengikut Raden Wirasena di Gunung Tidar. Mereka telah berkeluarga dan tentu saja akan sangat berat meninggalkan keluarga mereka demi sebuah perjuangan yang belum jelas arahnya.
“Apakah rencana Ki Lurah selanjutnya?” bertanya Srana kemudian setelah sejenak mereka berdiam diri.
“Kita kembali ke kesatuan kita,” jawab Ki Lurah tanpa mengurangi kecepatan langkahnya, “Kita akan memasang mata dan telinga sehubungan dengan peristiwa mangkatnya Sang Prabu. Kita jangan gegabah bergerak dulu. Untuk sementara jangan mengadakan hubungan dengan kawan-kawan seperjuangan yang tersebar di Kotaraja. Kita belum tahu apakah angin masih bertiup pada arah yang sama ataukah telah berubah arah.”
Kedua pengawalnya tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara langkah mereka sesekali menjumpai pepohonan yang cukup pepat berjajar-jajar sehingga mereka harus berputar untuk menghindari tempat itu.
“Apakah masih ada binatang buas di hutan Krapyak sebelah timur ini?” tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari prajurit pengawal yang bertubuh agak gemuk.
“Hutan Krapyak sebelah timur ini tidak selebat dan sepepat hutan sebelah barat,” sahut Srana sambil merunduk menghindari sulur-sulur yang menjuntai hampir menyentuh tanah, “Namun binatang buruan aku kira masih cukup banyak. Sejenis Kijang atau Kancil barangkali. Namun kalau binatang buas mungkin banyak terdapat di sebelah barat hutan ini.”
Ki Lurah tersenyum mendengar percakapan kedua pengawalnya itu. Katanya kemudian, “Itulah sebabnya pesanggrahan Krapyak terletak di sebelah barat. Di sana masih banyak binatang buruan terutama harimau dan sejenisnya yang lebih kecil. Para keluarga Bangsawan tentu lebih tertantang untuk berburu seekor harimau belang dari pada seekor pelanduk.”
Hampir bersamaan kedua pengawalnya tersenyum. Sahut Srana kemudian, “Benar Ki Lurah. Pulang membawa binatang buruan berupa seekor harimau loreng tentu lebih membanggakan dari pada seekor pelanduk.”
Ki Lurah tertawa pendek mendengar ucapan Srana. Kawan Srana yang bertubuh agak gemuk itu bahkan tertawa berkepanjangan. Srana pun ikut tertawa.
“Apakah kalian dapat melihat lintang gubuk penceng dari tempat ini?” tiba-tiba Ki Lurah mengajukan sebuah pertanyaan setelah tawa mereka reda.
Sejenak kedua pengawal itu mencoba mengamat-amati langit dari tempat mereka. Namun pepohonan yang cukup pepat ternyata telah menghalangi pandangan mereka.
“Tidak Ki Lurah,” jawab mereka berdua kemudian hampir bersamaam.
“Semoga kita masih berjalan pada arah yang benar,” berkata Ki Lurah kemudian. Kedua pengawalnya pun hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Ki Lurah,” berkata prajurit pengawalnya yang bernama Srana itu kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Mengapa Ki Lurah menolak menggunakan kuda? Bukankah perjalanan kita akan semakin lancar dan cepat jika berkuda? Kita dapat berkuda melalui lorong hutan Krapyak sebelah utara yang biasa digunakan para kerabat Istana jika mereka akan berburu.”
