GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-10
Bagian 2
“Namun setidaknya kita harus menunjukkan sebuah usaha,” sahut Pangeran Pati kemudian, “Usaha itu penting kita lakukan sebagai bentuk perwujudan dari perjuangan kita dalam meraih rahmatNya. Tanpa sebuah perjuangan, kita akan menjadi makhluk yang tak bernilai di hadapanNya.”
Sejenak Ki Patih terdiam. Apa yang disampaikan oleh Pangeran Pati itu memang benar adanya. Namun saat itu Ki Patih benar-benar tidak mau mengambil keputusan gegabah. Panggraitanya mengatakan bahwa yang terpenting saat itu adalah menyelamatkan masa depan Mataram.
“Sudahlah Pangeran,” berkata Ki Patih kemudian, “Seperti yang sudah aku sampaikan beberapa saat tadi di pinggir hutan sebelah barat itu. Jika aku memang diperkenankan olehNya untuk memilih, aku memilih untuk menyelamatkan masa depan. Karena kita tidak tahu jebakan apa yang telah dipasang oleh orang-orang yang bersembunyi di kelokan jalan setapak sore tadi. Jika kita menuruti hawa nafsu, walaupun itu dapat dikatakan sebuah usaha menyelamatkan Sinuhun Prabu, namun aku cenderung mengatakan itu tidak lebih dari sebuah usaha untuk membunuh diri. Mereka yang bersembunyi itu dengan jelas dapat mengetahui keberadaan kita, kekuatan kita. Sedangkan kita tidak mampu meraba sedikitpun tentang mereka. Bukankah itu sama saja dengan sebuah usaha untuk membunuh diri?”
Kali ini Pangeran Pati terdiam. Masih jelas terbayang dalam ingatannya, betapa Ki Patih telah mengajaknya turun dari kuda. Seandainya saja mereka berdua dengan sangat bernafsu mengejar Sinuhun Prabu dengan berkuda, entah apa yang akan terjadi kemudian.
“Sinuhun Prabu dengan licik telah diserang dengan sumpit yang sangat beracun,” berkata Pangeran Pati dalam hati sambil mengerutkan kening dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Agaknya mereka menyumpit kuda tunggangan sang Prabu terlebih dahulu, sehingga ketika kuda itu terkejut dan melonjak, Ayahanda Prabu tidak mampu menguasainya lagi. Di saat-saat yang sulit itulah paser beracun berikutnya menyerang Ayahanda Prabu.”
“Nah, Pangeran,” berkata Ki Patih kemudian membuyarkan lamunan Pangeran Pati, “Apakah Pangeran menyadari bahaya yang mengintai kita saat itu jika aku tidak menahan Pangeran?”
Kali ini Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula Pangeran Pati memang menyesali tindakan Ki Patih yang mencegahnya menusul Sinuhun Prabu. Namun kini semua terbukti bahwa tindakan Ki Patih itu semata-mata untuk menyelamatkan dirinya, menyelamatkan masa depan Mataram.
“Sudah berapa kali Eyang Buyut Mandaraka berperan dalam kancah sejarah negeri ini?” bertanya Pangeran Pati dalam hati kemudian, “Semenjak pemberontakan Jipang sampai pecah perang antara Pajang dan Mataram yang saat itu baru saja berdiri tegak. Sekarang sekali lagi Eyang Buyut Mandaraka menunjukkan kesetiaannya dan sekaligus kepeduliannya akan masa depan Mataram.”
Sampai disini Pangeran Pati hatinya menjadi tersentuh. Bahkan tanpa sadar di dalam hatinya telah terucap sebuah janji, “Jika tiba saatnya nanti aku memang direstui oleh para kerabat Istana dan juga para Wali sebagai penasehat Raja untuk memerintah seluruh negeri Mataram, aku akan tetap meminta Eyang Buyut Mandaraka untuk menjadi Warangka Praja.”
“Nah, Pangeran,” berkata Ki Patih kembali membuyarkan lamunan Pangeran Pati, “Sambil menunggu kereta merta dari kota Raja untuk menjemput jenasah Sang Prabu, ada baiknya kita menunggui jenasah Sang Prabu sambil mendoakan semoga segala amal baktinya diterima dan segala kesalahannya diampuni.”
“Marilah Eyang Buyut,” jawab Pangeran Pati kemudian sambil bangkit berdiri dan mengikuti langkah Ki Patih menuju pintu pringgitan.
Dalam pada itu di hutan Krapyak sebelah timur, agak jauh dari pesanggrahan, pertempuran antara Jajar Kawung dan perempuan yang berjuluk sepasang belati iblis dari lembah Merapi itu semakin dahsyat. Keduanya sudah tidak mengekang diri lagi. Setiap serangan adalah ibarat maut yang datang menjemput. Jika sekejap saja lengah, senjata lawan akan dapat menghantar ke alam kelanggengan.