GAGAKSETA-2
MELESTARIKAN CERITA SILAT INDONESIA
STSD-05
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
(Lanjutan TADBM)
karya mbah_man
Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo
STSD Jilid 5
Bagian 1
SEJENAK wajah pengawal itu bagaikan kapas, putih pucat seakan-akan tanpa ada setetes darah pun yang mengaliri wajahnya.
“Majulah!” perintah Ki Gede kepada pengawal itu kemudian, “Jangan takut. Kita harus mengetahui terlebih dahulu duduk permasalahan yang sebenarnya sebelum memutuskan sebuah perkara.”
Kata-kata Ki Gede itu memang terdengar sareh, tidak ada nada kemarahan sama sekali. Namun betapapun juga, tubuh pengawal itu tampak gemetaran dan wajahnya pucat sepucat kapas. Dengan langkah satu-satu, pengawal itu pun akhir bergeser mendekati Ki Gede.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian setelah pengawal itu berdiri di hadapannya, “Ceritakanlah sejujurnya apa sebenarnya yang telah terjadi.”
Sejenak pengawal itu masih menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan. Ketika dicobanya untuk mengangkat kepala, segera saja pandangan matanya berbenturan dengan pandangan mata Ki Gede, dan ternyata Ki Gede justru telah tersenyum sareh.
Bagaikan tersiram embun pagi, hati pengawal itupun menjadi sedikit tenang. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, akhirnya pengawal itu pun memulai laporannya.
“Ki Gede, kami berdua mendapat tugas untuk mengantar makan malam bagi tawanan,” berkata pengawal itu kemudian memulai laporannya, “Kawanku itu yang bertugas membawa makanan, sedangkan aku bertugas untuk melindunginya serta mencegah jika tawanan itu akan menggunakan kesempatan saat kami memberi makan untuk melarikan diri.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Kedengarannya apa yang dilaporkan oleh pengawal itu sepertinya sudah sewajarnya. Maka kata Ki Gede kemudian, “Lanjutkan ceritamu.”
Pengawal itu menganggukkan kepalanya sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Begitu kami membuka selarak bilik, ternyata tawanan itu masih terikat erat pada tiang yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Namun ketika kawanku itu kemudian meletakkan semangkuk nasi dan semangkuk kuah yang masih panas di hadapannya, dia telah berteriak untuk meminta salah satu ikatan tangannya untuk dibebaskan.”
“Jika kalian masih menganggap aku sebagai manusia sebagaimana kalian berdua, tentu kalian tidak akan membiarkan aku makan langsung dengan mulutku seperti seekor binatang, begitu berkata tawanan itu selanjutnya,” pengawal itu berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Ketika kawanku meminta persetujuanku, aku pun tidak keberatan untuk melepaskan ikatan salah satu tangannya.”
“Siapakah yang melepas ikatan tangan tawanan itu?” potong Ki Gede cepat.
Sejenak pengawal itu mengkerutkan lehernya. Jawabnya kemudian dengan suara sedikit tersendat, “Aku Ki Gede.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Seharusnya kawanmu itulah yang melepas ikatan tangan tawanan itu. Bukan kamu.”
Pengawal itu tampak menundukkan wajahnya semakin dalam. Memang seharusnya kawannya itu yang membuka ikatan, bukan dirinya yang sedang memegang senjata.